Julian J. Pattipeilohy Balai Pelestarian Nilai Budaya Ambon
Jl. Ir.M.Putuhena Wailela-Rumahtiga Ambon
Telepon : (0911) 322718-322717,
Fax (0911) 322717
Abstrak
Konsep pemikiran melaut tidaklah dapat dipisahkan dari karya-karya
masyarakat di Saparua yang berkaitan dengan pengolahan hasil laut, pengetahuan
teknologi melaut dan perkembangannya, serta peningkatan sumber pendapatan
ekonomi keluarga. Meskipun telah terjadi modernisasi dibidang perikanan dan
adanya pengaruh pasar globalisasi yang kuat, namun dalam budaya bahari
kebanyakan komuniti nelayan Saparua masih mempertahankan unsur-unsur
pengetahuan, pandangan, kelembagaan dan teknologi eksploitasi yang tradisional.
Studi antropologi, sosial-budaya dan perubahan dalam pendekatan terhadap
masyarakat pulau Saparua, membuka jendela perspektif mereka dalam sistem
kelautan dengan temuan-temuan perilaku yang terpola dari pengetahuan
tradisional sebagai landasan aktivitas melaut. Perubahan terjadi karena adanya
persaingan sosialekonomi yang mengharuskan mereka meningkatkan sistem
pemanfaatan potensi laut di satu sisi dan pertahanan pengetahuan dengan nilai
budaya keluatan yang mereka miliki di sisi lain. Perpaduan antara peningkatan
sistem pemanfaatan potensi laut dan ketahanan nilai budaya melahirkan pola
perilaku terhadap perbaikan ekonomi keluarga.
Kata Kunci : Nelayan Saparua, Sistem Teknologi Tradisional.
Abstract
The concept of fishing thinking can not be separated from society works
in Saparua related to seafood processing, knowledge of fishing technology and
development, and increasing source of economic income families. Although there
has been a modernization in the field of fisheries and the influence of the
strong market globalization, but in most maritime culture Saparua fishing
community still retains elements of knowledge, views, institutional and
traditional exploitation technologies.
Anthropological studies, socio-cultural and community change in approach
to the island Saparua, open the windows of their perspectives in marine systems
with the findings of patterned behavior of traditional knowledge as the basis
of fishing activity. Change happens because of the socio-economic competition
that requires them to improve system utilization potential of the sea on one side
and the defense of cultural values kelautan knowledge with which they have on
the other side. The combination of an increase in the utilization of marine
systems and resilience of cultural values bore patterns of behavior towards
family economic improvement.
Keywords: Fishermen Saparua, Traditional Technology Systems
PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara kepulauan dengan potensi sumber daya maritim
yang begitu besar, sesungguhnya merupakan kekuatan kehidupan rakyat. Bagi masyarakat
pesisir dan pulau-pulau di Nusantara ini, sektor ekonomi perikanan dan usaha
transportasi atau pelayaran masih selalu merupakan sektor-sektor andalan yang
bertahan sampai saat ini. Ketahanan atas aset kemaritiman pada masyarakat pesisir
atau masyarakat pulau-pulau ini, sebagai wujud warisan karya para leluhur mereka,
sekaligus menunjukan simbol atau identitas budaya sebagai pewaris budaya maritim.
Warisan budaya maritim yang tersebar dalam wilayah Nusantara merupakan
kebanggaan bangsa Indonesia sebagai raksasa kemaritiman di dunia. Hal ini
semata bukan karena luas arel lautnya, tetapi yang lebih meyakinkan adalah wujud
interaksi masyarakat sebagai penggaul aktivitas kelautan. Aktivitas melaut telah
menempatkan posisi paling terdepan, sebagai landasan atau titian kehidupan. Titian
kehidupan melaut itu diwujudkan melalui teknologi kelautan yang paling tradisional
hingga perkembangannya.
Kecamatan Saparua merupakan salah satu kecamatan yang terdapat di Kabupaten
Maluku Tengah Provinsi Maluku, konsentrasi penduduknya berada di daerah pesisir
yang seharusnya menggantungkan kehidupannya sebagai nelayan. Namun jika dilihat
pada data statistik, jumlah nelayan di Pulau Saparua kurang lebih 2.949 orang,
ini berarti yang benar-benar menggeluti pekerjaan sebagai nelayan hanyalah
sebagian kecil saja, sisanya berprofesi campuran dalam arti bisa sebagai
nelayan dan juga sebagai petani. Data lapangan menunjukan bahwa umumnya di
setiap rumah tangga mempunyai peralatan penangkapan ikan dan menggeluti
pekerjaan sebagai nelayan, di samping juga sebagai petani. Mereka ini pergi
melaut hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya saja. Pada Tahun 2010 jumlah
produksi dan nilai perikanan di Kecamatan Saparua mencapai Rp 20.043.847 dengan
pendapatan percapita rata-rata pertahun Rp. 4,417.938 dengan jumlah nelayan
kurang lebih 2.949 orang, bila dibandingkan dengan tahun 2009 jumlah produksi
mengalami kenaikan yang cukup signifikan yaitu 66.74 %, sedangkan pendapatan
percapita di tahun 2009 mengalami kenaikan 66.74 % dengan jumlah nelayan 2.949
orang. Hal ini menunjukan prospek perikanan di Pulau Saparua cukup baik.
Nelayan yang ada di Pulau Saparua sangat tergantung pada sumber daya alam
laut yang tersedia di sekitar lingkungan di mana mereka berada. Di Pulau Saparua
sumber daya laut boleh dikatakan masih bagus, walau pun itu tidak terjadi di
semua negeri. Ada negeri-negeri yang terumbu karang tempat ikan berkembang biak
sudah rusak seperti di negeri Ouw dan Ullath, tetapi di negeri Tuhaha, Ihamahu,
Noloth yang ada di Jasirah Hatawano hutan mangrovenya masih bagus, nelayan
masih dengan mudah memperoleh hasil laut di daerah yang tidak jauh dari garis
pantai.
Peralatan yang digunakan pun masih sangat sederhana seperti pancing,
jala, bubu dan lain sebagainya. Jenis-jenis peralatan ini biasanya dimiliki
secara individu dan dibuat dengan menggunakan teknologi yang sederhana. Teknologi
bukan hanya menyangkut alat tetapi juga bagaimana cara menggunakan alat
tersebut. J.J. Honingmann menyatakan bahwa teknologi adalah segala tindakan
baku yang digunakan manusia untuk mengubah alam, termasuk tubuhnya sendiri atau
orang lain. Oleh karena itu teknologi adalah cara manusia membuat, memakai dan memelihara
seluruh peralatannya dan bahkan bertindak selama hidupnya[1].
Koentjaraningrat[2],
memasukan teknologi sebagai bagian dari tujuh unsur kebudayaan yaitu bahasa,
sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi,
system matapencaharian hidup, sistem religi dan kesenian. Teknologi itu sendiri
tidak terlepas dari pengetahuan dan teknik-teknik suatu bangsa untuk membangun
kebudayaan materialnya. Dengan pengetahuan dan teknik-teknik yang dimiliki,
suatu bangsa membangun lingkungan fisik, lingkungan sosial dan lingkungan
psikologis Dalam teknik tradisional sedikitnya ada 8 macam sistem peralatan dan
unsur kebudayaan fisik digunakan oleh manusia yang hidup dalam masyarakat
yaitu: alat-alat produksi, senjata, wadah, alat untuk membuat api, makanan,
minuman, bahan pembangkit gairah, jam, pakaian, perhiasan, tempat berlindung
dan rumah dan alat-alat transportasi.
Seiring dengan perkembangan zaman, teknologi yang dahulu sangat sederhana,
sekarang sudah lebih maju. Misalnya dahulu menggunakan perahu semang dengan
dayung, sekarang sudah memakai mesin dengan berbagai ukuran, sehingga jangkauan
mencari ikan sudah lebih jauh. Penggunaan teknologi yang sudah lebih maju turut
pula mempengaruhi sistem kerja, yang biasanya berperahu secara individu, mulai
bersama-sama menggunakan perahu dan melaut secara berkelompok. Demikian pula
dengan peralatan penangkapan ikan yang digunakan haruslah disesuaikan dengan jenis
perahu yang dipakai. Penggunaan peralatan tersebut tidak terlepas dari peran
serta para pembuat peralatan, seperti perahu. Dalam pembuatan peralatan
tersebut diperlukan ketrampilan dan teknologi pengetahuan tradisional yang
biasanya didapat secara turun temurun. Di Pulau Saparua tidak semua orang
mempunyai ketrampilan membuat perahu, hanya pada negeri-negeri tertentu saja
seperti di negeri Noloth.
Demikian pula dalam melakukan aktivitas di laut, masyarakat masih mengandalkan
pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan penangkapan akan hasil laut
seperti pengetahuan tentang musim, pengetahuan tentang jenis ikan, pengetahuan
tentang arus dan gelombang, pengetahuan tentang laut dan pengetahuan tentang
gejala-gejala alam (nanaku). Pengetahuan ini biasanya diwarisi secara turun
temurun dari generasi ke generasi. Dengan pengetahuan ini masyarakat nelayan
yang ada di Pulau Saparua dapat mengetahui dan mengenali segala sesuatu yang
berkaitan dengan kenelayanan. Dengan pengetahuan ini mereka dapat mendeteksi sedini
mungkin akan bahaya yang mengincar mereka ketika melaut. Nelayan di Pulau
Saparua tergolong dalam beberapa kategori seperti nelayan tangkap, tambak, dan
juga ada beberapa kelompok usaha yang bergerak di bidang perikanan seperti
kelompok usaha budidaya, kelompok usaha kolam dan juga koperasi di bidang
nelayan. Di desa sampel Noloth dan Tuhaha, rata-rata mereka adalah nelayan yang
tergolong dalam nelayan tangkap dengan mengunakan peralatan yang sederhana
seperti jaring dan jala.
Dari uraian latar belakang di atas maka yang menjadi kajian penulisan ini
adalah
1.
Bagaimana jenis teknologi tradisional
penangkapan ikan Di Pulau Saparua
2.
Bagaimana pemanfaatan teknologi tradisional
penangkapan ikan oleh masyarakat
3.
Bagaimana pengetahuan masyarakat yang berkaitan
dengan tradisi melaut
Kajian ini bertujuan untuk :
1.
Mendiskripsikan berbagai jenis teknologi
tradisional penangkapan ikan di Pulau Saparua
2.
Mengetahui pemanfaatan teknologi tradisional
penangkapan ikan oleh masyarakat .
3.
Menggali dan mengkaji pengetahuan masyarakat
yang berkaitan dengan tradisi-melaut
Dari unsur-unsur kajian dan tujuan penulisan ini maka, ruang lingkup materi
difokuskan untuk mendiskripsikan berbagai jenis teknologi tradisional masyarakat
nelayan di pulau Saparua serta menggali dan mengkaji tentang pengetahuan
masyarakat yang berkaitan dengan tradisi melaut. Sedangkan ruang lingkup
operasional adalah di Pulau Saparua dengan mengambil sampel pada beberapa desa
nelayan yaitu di Noloth dan Tuhaha. Pengambilan ke dua negeri tersebut
didasarkan pertimbangan bahwa penduduk ke dua Negeri ini sebagian masyarakatnya
menekuni aktivitas sebagai nelayan, dengan menggunakan peralatan penangkapan
ikan masih tergolong tradisional.
Wawancara yang dilakukan adalah wawancara mendalam (depth interview)dengan
menggunakan pedoman wawancara yang berisikan pertanyaan-pertanyaan pokok yang
ditujukan kepada informan kunci maupun anggota masyarakat yang dalam hal ini
adalah nelayan yang mengetahui dan memahami secara jelas tentang kenelayanan
baik teknologi pun tradisi. Observasi dilakukan dengan tujuan untuk mengamati
berbagai kegiatan/situasi yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Studi
pustaka untuk mencari informasi-informasi tertulis melalui bukubuku dan
hasil-hasil penelitian yang ada kaitannya dengan masalah yang diteliti.
Data yang telah dikumpulkan kemudian diverifikasi menurut sub-sub topic bahasan,
kemudian dianalisis secara deskriptif.
B. Nelayan Saparua Dan Sistem Melaut
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa sebagain besar penduduk saparua
melakoni matapencaharian sebagai nelayan. Hal ini sangat mungkin karena Letak
geografis Pulau Saparua yang umumnya di daerah pesisir. Sehingga tidak heran
kalau sebagian besar masyarakat di sana menekuni pekerjaan sebagai nelayan. Nelayan
Pulau Saparua merupakan manusia yang hidupnya bersahaja, namun demikian kondisi
ekonomi mereka cukup baik, ini dilihat dari kondisi rumah yang rata-rata sudah
parmanen, bagus dan bersih. Ketika ditelusuri lebih jauh, hal ini dimungkinkan
karena pekerjaan mereka bukan hanya sebagai nelayan tetapi juga sebagai petani
atau pun pekerjaan lainnya yang dapat menopang pendapatan ekonomi mereka, di
samping ada bantuan-bantuan dari keluarga mereka yang tinggal dirantau.
Hubungan sosial yang terjadi adalah mereka saling membutuhkan,menolong satu
dengan yang lain, memberi dan menerima, intinya hubungan kekeluargaan di antara
mereka masih terpelihara dengan baik.
Sebagai nelayan mereka menggantungkan kehidupan mereka pada kemurahan
alam, dalam hal ini adalah laut. Seperti para nelayan yang tinggal di daerah
penelitian desa Noloth dan Tuhaha merupakan nelayan yang lahir dari adanya
regenerasi dari nenek moyang mereka. Nelayan-nelayan di sana dewasa ini mewarisi
keahlian mereka melalui belajar cara hidup sebagai nelayan yang tidak hanya
berusaha untuk menaklukkan alam melainkan juga menjaga keselarasan dengan alam.
Bagi mereka alam harus dimengerti serta diikuti ritme kehidupannya, untuk dapat
menjaga keharmonisan hidup dengan makro kosmos mereka. Tidak mengherankan
sampai saat ini para nelayan mempunyai kearifan tersendiri dalam melakukan
kegiatan melaut, sehingga mereka mengenal berbagai keadaan alam (nanaku) yang
menyangkut kondisi gelombang (tenang atau besar), kondisi arus laut, dan
berbagai tanda alam lainnya. Bahkan para nelayan dapat menentukan jenis-jenis
ikan yang banyak terdapat pada bulan-bulan tertentu.
Derap langkah para nelayan dalam memulai aktivitas dimulai pada jam 04.00
– 05.00 Wit. Pagi subuh ketika hari masih gelap, para nelayan sudah keluar rumah
menuju pantai di mana perahu mereka ditambatkan. Setibanya ditepi pantai nelayan
akan mempersiapkan perahu yang akan digunakan sambil melihat kondisi dan cuaca.
Peralatan yang akan digunakan pun disiapkan seperti dayung dan menara yang akan
dipakai. Setelah semua peralatan siap, seorang nelayan akan dibantu oleh sesama
rekannya membawa perahu sampai ke tepi pantai, setelah tiba, berangkatlah
nelayan-nelayan tersebut memulai aktivitas mereka mencari ikan.
Ada juga nelayan yang sudah menggunakan mesin motor, untuk mencari ikan
ke tempat yang lebih jauh. Sedangkan nelayan yang hanya mengandalkan tenaga
dayung, biasanya melakukan aktivitas melaut tidak jauh dari pesisir pantai. Seperti
di desa Tuhaha yang pesisir pantainya banyak ditumbuhi pohon bakau dan jenis
rumput laut oleh masyarakat di sana dinamakan lalamong, serta terumbu karang
yang belum tercemar, merupakan tempat berkumpulnya ikan.
Nelayan yang menggunakan mesin motor, setelah melaut kurang lebih 3 – 25
meter dari pantai, mulailah nelayan memasang jaring atau juga menebarkan jala untuk
mendapatkan hasil ikan yang cukup memadai untuk hari itu. Kalau mereka melaut
pada musim ikan, maka mereka akan mendapat hasil yang banyak , namun kalau
tidak musim ikan, mereka akan mendapat sedikit ikan bahkan kadang-kadang tidak
mendapat seekorpun untuk dibawa pulang. Bila mendapat ikan, hasil tangkapan
biasanya dibagi sama rata. Pada umunnya perahu dan alat tangkap yang dipergunakan
milik nelayan itu sendiri, tidak meminjam milik orang lain atau menyewa. Cara
penangkapannya sebagai berikut; mereka pergi mencari ikan atau melaut jarak
dari tepi pantai sampai ke tempat mencari ikan cukup jauh kira-kira 1 sampai 2
mil dari pantai. Alat tangkap yang di pakai disebut manara rangke. Jenis tasik
yang dipakai untuk membuat menara rangke adalah jenis 150. Tiap satu rangkai
tasik bisa 10 sampai 15 mata kail untuk ukuran panjang tasik 12 m dan tiap mata
kail panjangnya 50 cm Sedangkan tasik yang panjangnya 12 m dengan jarak per
mata kail kira-kira 1,5 m. jenis ikan yang ditangkap dengan menggunakan menara
ini biasanya cakalang, tuna /tatihu.
Setelah mereka mendapat ikan, nelayan tersebut akan kembali ke darat. Sampai
di tepi pantai sudah menunggu ibu-ibu (disebut orang papalele) yang akan membeli
ikan hasil tangkapan mereka. Namun ada juga yang dijual langsung oleh istri
nelayan tersebut. Bila musim ikan susah, maka harga ikan akan mahal, namun bila
ikan banyak, harga ikan akan murah, sehingga turut mempengaruhi pendapatan para
nelayan.
Kegiatan para nelayan dalam menangkap ikan, bukan hanya di pagi hari saja,
tetapi ada juga di siang sampai sore hari. Ini dilakukan bila ikan banyak. Kegiatan
melaut pada jam siang atau sore hari hanya menggunakan jala atau jarring saja.
Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tengah[3],
pada Tahun 2010 nelayan di Pulau Saparua dapat dibagi dalam kategori nelayan
tangkap 2.939 orang, nelayan tambak 5 orang, budidaya laut 5 orang dan pengelolaan
ikan 78 orang dan orang papalele (penjual) ikan berjumlah kurang lebih 86
orang, yang menurun cukup jauh dibanding dengan tahun 2009 yaitu 473 orang.
Ketika ditelusuri, kebanyakan dari mereka bukan lagi sebagai penjual ikan, tetapi
ada yang berdagang di Ambon bahkan sampai ke Sorong mengikuti anakanak mereka
yang bersekolah di sana.
Berdasarkan data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tengah
Tahun 20104 di Pulau Saparua terdapat sejumlah peralatan penangkapan ikan
sebagai berikut[4]:
a.
Perahu tanpa motor 440 buah dan jenis jukung 904
buah,
b.
Motor tempel jenis Yamaha 78 buah dan katinting
190 buah.
c.
Perahu/kapal motor jenis (GT) 26 buah.
Sedangkan jumlah alat penangkapan ikan di Pulau Saparua adalah sebagai berikut:
a.
Pukat (jaring) pantai 25 buah yang biasa dipakai
oleh nelayan untuk menangkap ikan jenis kalawinya (kembung), momor dan lain
sebagainya. ukuran jaring sesuai dengan perahu yang digunakan.
b.
Pukat Cincing (jaring bobo) 15 buah biasanya
digunakan pada jenis perahubesar (bodi).
c.
Jaring Insang Hanyut (jaring anyo) 460 buah, ini
biasanya dipergunakan pada malam hari, dinamakan jarring anyo, karena ditebar
dan dibiarkan mengikuti arus gelombang (anyo).
d.
Bagan perahu yaitu bagan yang menggunakan perahu
26 buah,
e.
Bagan tancap yaitu bagan 3 buah,
f.
Serok/tanggo 100 buah,
g.
Huhate 320 buah,
h.
Pancing tonda 375 buah, untuk mengael jenis ikan
cakalang/tuna.
i.
Pancing ulur yaitu jenis pancing yang
menggunakan stik 590 buah,
j.
Pancing tegak 408 buah untuk mangael jenis ikan
batu-batu atau ikan dasar
k.
Pancing cumi atau lambyung 98 buah,
l.
pancing lainnya 179 buah,
m. sero
18 buah, bubu 74 buah,
n.
perangkap lainnya 9 buah,
o.
pengumpul kerang 2 buah,
p.
pengumpul kepiting 9 buah,
q.
Pengumpul Jala tebar /jala buang 85 buah,
biasanya digunakan di daerah yang tidak jauh dari bibir pantai.
C. Tradisi Melaut
Masyarakat Pulau Saparua
Pulau Saparua yang masuk dalam kategori suku Ambon terdiri dari 17 buah
negeri dengan tradisi dan adat istiadat yang tidak jauh berbeda satu dengan yang
lain. Namun di beberapa negeri ada tradisi-tradsi yang tidak terdapat di negeri
yang lain seperti di negeri Paperu terkenal dengan tradisi hohate ikan papua, Tuhaha
dengan sasi dusun dan labuhang, serta di negeri Noloth dengan sasi lola dan
masih banyak lagi tradisi-tradisi dari setiap negeri. Tradisi adalah kebiasaan yang
masih dilakukan oleh sebagian besar warga suatu masyarakat yang diwariskan secara
turun temurun. Tradisi-tradisi ini ada sebagian yang masih dilakukan tetapi ada
juga yang mulai memudar bahkan sudah tidak lagi dilakukan seperti tradisi balobe.
Berikut ini dijelaskan tentang tradisi-tradisi tersebut.
1. Tradisi Hohate Ikan Papua
Tradisi hohate ikan papua[5],
adalah kebiasaan masyarakat negeri Booi untuk menangkap ikan sejenis ikan
batu-batu yang hidup pada perairan air yang tidak terlalu dalam. Dengan
menggunakan huhate/pancing yang mata kailnya dari umpan hidup keong (siput)
atau kumang. Huhate dibuat dari sepotong bamboo dengan ukuran 5, 7 atau 9 ruas
kemudian diberi tali snar atau nilon. Ukuran ruas bambu harus ganjil tidak
boleh genap. Menurut masyarakat di sana jika menggunakan jumlah ruas genap akan
kesulitan dalam menangkap ikan tatu.
Namun jika membuat huhate sesuai dengan ukuran maka dapat menangkap
banyak ikan. Ikan Tatu Hitam ukurannya selebar telapak tangan dan panjangnya
kurang lebih 15 cm bahkan ada yang lebih panjang. Kerena daging ikan ini kenyal
seperti daging ayam maka disebut juga ikan ayam dan oleh masyarakat Booi
disebut juga ikan papua[6],
karena ikan Tatu Hitam ini banyak ditemukan pada saat buah cengkeh mulai ranum
(polong), dan bila cengkeh polong mulai habis dari pohon, maka ikan ini juga
akan sangat sulit di temui di lautan. Suatu fakta yang sangat menarik, adalah
setelah selesai memanen hasil cengkeh, masyarakat boleh menikmati dan berpesta
dengan hasil laut yang melimpah. Suatu keberuntungan yang jarang ada di tempat
yang lain.
Ikan Papua suka bergerombol dalam jumlah banyak dan umpan yang paling
mujarab adalah keong/siput atau kumang-kumang kecil. Munculnya Ikan Papua ini
tidak terjadi sepanjang tahun, karena hanya muncul satu kali dalam satu tahun,
yaitu saat buah cengkeh meranum (Papua) dan ini dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya
oleh masyarakat dan telah menjadi tradisi yang dilakukan sepanjangtahun
bersamaan dengan musim menuai cengkeh.
Dengan menggunakan Kole-Kole atau sampan (perahu kecil), masyarakat secara
berbondong-bondong mencari posisi antara air laut dangkal dan air laut dalam,
tempat bermain kesukaan Ikan Papua. Tempat antara air laut dangkal dan dalam
ini kira-kira berkedalaman satu meter. Dan ikan papua muncul ketika air laut mulai
surut.
2. Tradisi Bameti
Kegiatan bameti dilakukan hampir pada semua negeri di pulau Saparua, apalagi
pada negeri-negeri yang memiliki hamparan pantai yang luas. Kegiatan ini biasanya
dilakukan pada saat air meti (air surut) dan lebih banyak dilakukan oleh kaum
perempuan dan biasanya pada saat musim timur di mana ikan banyak dan gelombang
besar. Ada beberapa bentuk kegiatan bameti yaitu :
·
Amanisa/amunisa adalah alat tangkap ikan yang
dibuat dari anyaman bamboo bentuknya bulat memanjang di mana salah satu sisinya
dibuat berlubang sebagai pintu masuknya ikan. kegiatan ini biasanya dilakukan
oleh orang perempuan. Caranya amanisa di letakan di dalam kolam dan ketika batu
diangkat maka ikan-ikan yang bersembuyidi bawah batu tersebut akan masuk ke
dalam amanisa, kemudian pintu amanisa ditutup. Kegiatan ini dapat dilakukan
pada beberapa tempat yang diyakini ada ikannya, dan biasanya kegiatan ini
dilakukan pada saat meti di musim timur. Selain metinya panjang, dimusim ini
ikannya banyak, sehingga bamate amanisa dapat
dilakukan dengan mudah.
·
Cari Bia : biasanya dapat dilakukan oehsiapa
saja, orang tua, anak kecil, laki, perempuan. Ketika air meti (air surut)
mereka kemudian mencari jenis-jenis siput atau keong laut (Bia) dengan cara
menggali. Kegiatan ini dapat dikatakan gampang-gampang susah, artinya yang
belum berpengalaman pasti akan merasa sulit, karena harus bisa membedakan
bentuk keong atau siput tertentu dengan batu-batu kecil yang berlumut. Dalam
hal mencari bia ada jenis bia tertentu yang sering menjadi sasaran pencarian
yaitu mencari bia sageru (nama bia ini lazim di Lease). Mencari bia sageru ini
unik, bia ini biasanya bersembunyi di dalam pasir dan yang kelihatan adalah lubang-lubang
kecil dipermukaan. Untuk dapat memangkapnya harus menggunakan potongan lidi
dengan ukuran kira-kira 30 cm dengan diameter seukuran tusuk sate, Cara
tangkapnya lidi ditusuk tepat ke dalam ke dalam lubang kecil tersebut, bila
kena bia akan menutup tubuhnya dan tertancap dilidi, tetapi bila tidak bia akan
membenamkan diri lebih jauh ke dalam pasir. Mencari bia ini harus berjalan
perlahan-lahan karena sangat sensitif sekali bia ini.
·
Gale (gali) taripang adalah kegiatan menggali
jenis teripang tertentu. Bagi mereka yang sudah berpengalaman mereka tahu betul
tempat teripang ini hidup. Biasanya jenis teripang ini hidup bekelompok dalam
pasir dan karang. Dengan begitu harus memakai linggis sebagai alat untuk
menggali lobang untuk menemukan teripang-teripang ini. Jenis taripang seperti
ini di Negeri Booi dinamakan Teripang Sai-sai.
3. Tradisi Balobe
Kegiatan balobe sama saja dengan kegiatan bameti, hanya balobe dilakukan pada
malam hari. Balobe biasanya untuk mencari ikan atau gurita dengan menggunakan
obor atau lampu. Alat yang digunakan untuk balobe adalah parang, Kalawai (sejenis
tombak, yang bermata 2-5 cm), Kurkunci ( besi kecil yang salah satu ujungnya di
tajamkan dan memakai taji/sanggi-sanggi yang sengaja di buat sebagai alat
pelengkap Kalawai. Bila dibandingkan dengan kegiatan bameti, balobe lebih gampang
mendapatkan ikan, sebab malam hari ikan atau Gurita terkesan jinak tinggal di
potong atau di tikam memakai Kalawai atau Kurkunci
4. Tradisi Sasi Lola di Desa Noloth
Lola adalah nama sejenis siput laut yang dapat dimanfaatkan dagingnya untuk
dimankan dan kulitnya dapat dibuat perhiasan atau cindra mata. Jenis siput ini
berbentuk kerucut dengan ukuran panjang 10-15 cm. Di lokasi penelitian desa (bersambung) ...
[1]
Koentjaraningrat Pengantar Antropologi II Hal 23
[2]
Kentjaraningrat Pengantar Antropologi I hal 83
[3]
Kecamatan Saparua Dalam Angka Tahun 2011 hal 74
[4]
Kecamatan Saparua Dalam Angka Tahun 2011 hal 75-76
[5]
http/www.jalanjalanyuk.com./hohate-mangael – ikan-papua di -booi
[6]
Papua adalah sebutan masyarakat Booi untuk buah cengkeh yang sudah matang atau ranum
(cengkeh polong). Cengkeh polong buahnya besar dan berwarna kemerahmerahan .
Bila cengkeh telah polong, harga jualnya akan menurun, beratnya sudah berkurang
dan mutu cengkeh juga kurang baik, sehingga cengkeh harus dipetik sebelum menjadi
polong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar