Selasa, 21 Juni 2016

Tradisi Melaut Masyarakat Pulau Saparua

Tradisi Melaut Masyarakat Pulau Saparua
Diambil dari Sistem Penangkapan Ikan Tradisional Masyarakat Nelayan Di Pulau Saparua
Oleh Julian J. Pattipeilohy di Jurnal Penelitian, Vol. 7, No. 5.Edisi November 2013
Balai Pelestarian Nilai Budaya Ambon
Jl. Ir.M.Putuhena Wailela-Rumahtiga Ambon
Telepon : (0911) 322718-322717,
Fax (0911) 322717
Pulau Saparua yang masuk dalam kategori suku Ambon terdiri dari 17 buah negeri dengan tradisi dan adat istiadat yang tidak jauh berbeda satu dengan yang lain. Namun di beberapa negeri ada tradisi-tradsi yang tidak terdapat di negeri yang lain seperti di negeri Paperu terkenal dengan tradisi hohate ikan papua, Tuhaha dengan sasi dusun dan labuhang, serta di negeri Noloth dengan sasi lola dan masih banyak lagi tradisi-tradisi dari setiap negeri. Tradisi adalah kebiasaan yang masih dilakukan oleh sebagian besar warga suatu masyarakat yang diwariskan secara turun temurun. Tradisi-tradisi ini ada sebagian yang masih dilakukan tetapi ada juga yang mulai memudar bahkan sudah tidak lagi dilakukan seperti tradisi balobe. Berikut ini dijelaskan tentang tradisi-tradisi tersebut.
1.        Tradisi Hohate Ikan Papua
Tradisi hohate ikan papua[1] adalah kebiasaan masyarakat negeri Booi untuk menangkap ikan sejenis ikan batu-batu yang hidup pada perairan air yang tidak terlalu dalam. Dengan menggunakan huhate/pancing yang mata kailnya dari umpan hidup keong (siput) atau kumang. Huhate dibuat dari sepotong bamboo dengan ukuran 5, 7 atau 9 ruas kemudian diberi tali snar atau nilon. Ukuran ruas bambu harus ganjil tidak boleh genap. Menurut masyarakat di sana jika menggunakan jumlah ruas genap akan kesulitan dalam menangkap ikan tatu.
Namun jika membuat huhate sesuai dengan ukuran maka dapat menangkap banyak ikan. Ikan Tatu Hitam ukurannya selebar telapak tangan dan panjangnya kurang lebih 15 cm bahkan ada yang lebih panjang. Kerena daging ikan ini kenyal seperti daging ayam maka disebut juga ikan ayam dan oleh masyarakat Booi disebut juga ikan papua[2], karena ikan Tatu Hitam ini banyak ditemukan pada saat buah cengkeh mulai ranum (polong), dan bila cengkeh polong mulai habis dari pohon, maka ikan ini juga akan sangat sulit di temui di lautan. Suatu fakta yang sangat menarik, adalah setelah selesai memanen hasil cengkeh, masyarakat boleh menikmati dan berpesta dengan hasil laut yang melimpah. Suatu keberuntungan yang jarang ada di tempat yang lain.
Ikan Papua suka bergerombol dalam jumlah banyak dan umpan yang paling mujarab adalah keong/siput atau kumang-kumang kecil. Munculnya Ikan Papua ini tidak terjadi sepanjang tahun, karena hanya muncul satu kali dalam satu tahun, yaitu saat buah cengkeh meranum (Papua) dan ini dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh masyarakat dan telah menjadi tradisi yang dilakukan sepanjang tahun bersamaan dengan musim menuai cengkeh.
Dengan menggunakan Kole-Kole atau sampan (perahu kecil), masyarakat secara berbondong-bondong mencari posisi antara air laut dangkal dan air laut dalam, tempat bermain kesukaan Ikan Papua. Tempat antara air laut dangkal dan dalam ini kira-kira berkedalaman satu meter. Dan ikan papua muncul ketika air laut mulai surut.
2.        Tradisi Bameti
Kegiatan bameti dilakukan hampir pada semua negeri di pulau Saparua, apalagi pada negeri-negeri yang memiliki hamparan pantai yang luas. Kegiatan ini biasanya dilakukan pada saat air meti (air surut) dan lebih banyak dilakukan oleh kaum perempuan dan biasanya pada saat musim timur di mana ikan banyak dan gelombang besar. Ada beberapa bentuk kegiatan bameti yaitu :
a.    Amanisa/amunisa adalah alat tangkap ikan yang dibuat dari anyaman bamboo bentuknya bulat memanjang di mana salah satu sisinya dibuat berlubang sebagai pintu masuknya ikan. kegiatan ini biasanya dilakukan oleh orang perempuan. Caranya amanisa di letakan di dalam kolam dan ketika batu diangkat maka ikan-ikan yang bersembuyidi bawah batu tersebut akan masuk ke dalam amanisa, kemudian pintu amanisa ditutup. Kegiatan ini dapat dilakukan pada beberapa tempat yang diyakini ada ikannya, dan biasanya kegiatan ini dilakukan pada saat meti di musim timur. Selain metinya panjang, dimusim ini ikannya banyak, sehingga bamate amanisa dapat dilakukan dengan mudah.
b.    Cari Bia : biasanya dapat dilakukan oehsiapa saja, orang tua, anak kecil, laki, perempuan. Ketika air meti (air surut) mereka kemudian mencari jenis-jenis siput atau keong laut (Bia) dengan cara menggali. Kegiatan ini dapat dikatakan gampang-gampang susah, artinya yang belum berpengalaman pasti akan merasa sulit, karena harus bisa membedakan bentuk keong atau siput tertentu dengan batu-batu kecil yang berlumut. Dalam hal mencari bia ada jenis bia tertentu yang sering menjadi sasaran pencarian yaitu mencari bia sageru (nama bia ini lazim di Lease). Mencari bia sageru ini unik, bia ini biasanya bersembunyi di dalam pasir dan yang kelihatan adalah lubang-lubang kecil dipermukaan. Untuk dapat memangkapnya harus menggunakan potongan lidi dengan ukuran kira-kira 30 cm dengan diameter seukuran tusuk sate, Cara tangkapnya lidi ditusuk tepat ke dalam ke dalam lubang kecil tersebut, bila kena bia akan menutup tubuhnya dan tertancap dilidi, tetapi bila tidak bia akan membenamkan diri lebih jauh ke dalam pasir. Mencari bia ini harus berjalan perlahan-lahan karena sangat sensitif sekali bia ini.
c.    Gale (gali) taripang adalah kegiatan menggali jenis teripang tertentu. Bagi mereka yang sudah berpengalaman mereka tahu betul tempat teripang ini hidup. Biasanya jenis teripang ini hidup bekelompok dalam pasir dan karang. Dengan begitu harus memakai linggis sebagai alat untuk menggali lobang untuk menemukan teripang-teripang ini. Jenis taripang seperti ini di Negeri Booi dinamakan Teripang Sai-sai.
3.        Tradisi Balobe
Kegiatan balobe sama saja dengan kegiatan bameti, hanya balobe dilakukan pada malam hari. Balobe biasanya untuk mencari ikan atau gurita dengan menggunakan obor atau lampu. Alat yang digunakan untuk balobe adalah parang, Kalawai (sejenis tombak, yang bermata 2-5 cm), Kurkunci ( besi kecil yang salah satu ujungnya di tajamkan dan memakai taji/sanggi-sanggi yang sengaja di buat sebagai alat pelengkap Kalawai. Bila dibandingkan dengan kegiatan bameti, balobe lebih gampang mendapatkan ikan, sebab malam hari ikan atau Gurita terkesan jinak tinggal di potong atau di tikam memakai Kalawai atau Kurkunci
4. Tradisi Sasi Lola di Desa Noloth
Lola adalah nama sejenis siput laut yang dapat dimanfaatkan dagingnya untuk dimankan dan kulitnya dapat dibuat perhiasan atau cindra mata. Jenis siput ini berbentuk kerucut dengan ukuran panjang 10-15 cm. Di lokasi penelitian desa Noloth, dan beberapa desa di Pulau saparua seperti desa Sirisori Islam dan desa Ouw adalah penghasil siput lola yang sampai sekarang dilindungi secara tradisional oleh masyarakatnya. Dalam upaya melindungi keberadaan siput lola serta dalam upaya melestarikan budaya adat sasi, maka Pemerintah desa Noloth dan Kewang Negeri mengeluarkan Keputusan Pelaksanaan sasi di negeri Noloth pada tanggal 21 Januari 1994 yang telah disahkan bersamaan dengan aturan terhadap pelanggaran sanksi yang diberikan bagi yang melanggar. Zona sasi di desa Nooth meliputi areal seluas 125.000 m2 sepanjang pesisir pantai yang berbatasan dengan desa Ihamahu. Kedalaman zona adalah 25 meter.
Dalam tradisi ini terdiri dari prosesi inti yaitu proses tutup sasi dan buka sasi. Upacara Tutup Sasi di Desa Noloth dilakukan setelah adanya keputusan dari Badan saniri Negeri, setelah para kewang mengetahui bahwa anakan lola telah banyak. Pada saat tutup sasi diberlakukan, maka aturan-aturan sasi mulai diberlakukan. Dalam proses pemeliharaan anakan lola merupakan tanggungjawab dari seluruh masyarakat dan dalam pengawasan staf kewang. Kepala Kewang serta anak buah Kewang bertugas mengawasi serta mengontrol masyarakat dengan berpatokan pada aturan sasi yang telah dikeluarkan. Setelah anakan lola berumur kurang lebih enam bulan, maka para kewang kemudian sibuk melakukan persiapan upacara buka sasi. Persiapan ini dilakukan kurang lebih seminggu.
Sedangkan upacara buka sasi ini biasanya dilaksanakan di dalam rumah adat (baileu) dengan memperdengarkan lantunan kapata (nyanyian adat) yang semuanya bermuara pada pemujaan kepada Penguasa Langit (Upulanite). Setelah ritual adat selesai, maka anak-anak kewang akan melepaskan tanda-tanda sasi yang berada di sekitar wilayah atau daerah sasi, dan mengarahkan masyarakat untuk panen hasil lola.



[1] http/www.jalanjalanyuk.com./hohate-mangael – ikan-papua di -booi
[2] Papua adalah sebutan masyarakat Booi untuk buah cengkeh yang sudah matang atau ranum (cengkeh polong). Cengkeh polong buahnya besar dan berwarna kemerahmerahan . Bila cengkeh telah polong, harga jualnya akan menurun, beratnya sudah berkurang dan mutu cengkeh juga kurang baik, sehingga cengkeh harus dipetik sebelum menjadi polong.

Selasa, 14 Juni 2016

Nelayan Saparua Dan Sistem Melaut

Nelayan Saparua Dan Sistem Melaut
Diambil dari Sistem Penangkapan Ikan Tradisional Masyarakat Nelayan Di Pulau Saparua
Oleh Julian J. Pattipeilohy di Jurnal Penelitian, Vol. 7, No. 5.Edisi November 2013
Balai Pelestarian Nilai Budaya Ambon
Jl. Ir.M.Putuhena Wailela-Rumahtiga Ambon
Telepon : (0911) 322718-322717,
Fax (0911) 322717
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa sebagain besar penduduk saparua melakoni matapencaharian sebagai nelayan. Hal ini sangat mungkin karena Letak geografis Pulau Saparua yang umumnya di daerah pesisir. Sehingga tidak heran kalau sebagian besar masyarakat di sana menekuni pekerjaan sebagai nelayan.
Nelayan Pulau Saparua merupakan manusia yang hidupnya bersahaja, namun demikian kondisi ekonomi mereka cukup baik, ini dilihat dari kondisi rumah yang rata-rata sudah parmanen, bagus dan bersih. Ketika ditelusuri lebih jauh, hal ini dimungkinkan karena pekerjaan mereka bukan hanya sebagai nelayan tetapi juga sebagai petani atau pun pekerjaan lainnya yang dapat menopang pendapatan ekonomi mereka, di samping ada bantuan-bantuan dari keluarga mereka yang tinggal dirantau. Hubungan sosial yang terjadi adalah mereka saling membutuhkan,menolong satu dengan yang lain, memberi dan menerima, intinya hubungan kekeluargaan di antara mereka masih terpelihara dengan baik.
Sebagai nelayan mereka menggantungkan kehidupan mereka pada kemurahan alam, dalam hal ini adalah laut. Seperti para nelayan yang tinggal di daerah penelitian desa Noloth dan Tuhaha merupakan nelayan yang lahir dari adanya regenerasi dari nenek moyang mereka. Nelayan-nelayan di sana dewasa ini mewarisi keahlian mereka melalui belajar cara hidup sebagai nelayan yang tidak hanya berusaha untuk menaklukkan alam melainkan juga menjaga keselarasan dengan alam. Bagi mereka alam harus dimengerti serta diikuti ritme kehidupannya, untuk dapat menjaga keharmonisan hidup dengan makro kosmos mereka. Tidak mengherankan sampai saat ini para nelayan mempunyai kearifan tersendiri dalam melakukan kegiatan melaut, sehingga mereka mengenal berbagai keadaan alam (nanaku) yang menyangkut kondisi gelombang (tenang atau besar), kondisi arus laut, dan berbagai tanda alam lainnya. Bahkan para nelayan dapat menentukan jenis-jenis ikan yang banyak terdapat pada bulan-bulan tertentu.
Derap langkah para nelayan dalam memulai aktivitas dimulai pada jam 04.00 – 05.00 Wit. Pagi subuh ketika hari masih gelap, para nelayan sudah keluar rumah menuju pantai di mana perahu mereka ditambatkan. Setibanya ditepi pantai nelayan akan mempersiapkan perahu yang akan digunakan sambil melihat kondisi dan cuaca. Peralatan yang akan digunakan pun disiapkan seperti dayung dan menara yang akan dipakai. Setelah semua peralatan siap, seorang nelayan akan dibantu oleh sesama rekannya membawa perahu sampai ke tepi pantai, setelah tiba, berangkatlah nelayan-nelayan tersebut memulai aktivitas mereka mencari ikan.
Ada juga nelayan yang sudah menggunakan mesin motor, untuk mencari ikan ke tempat yang lebih jauh. Sedangkan nelayan yang hanya mengandalkan tenaga dayung, biasanya melakukan aktivitas melaut tidak jauh dari pesisir pantai. Seperti di desa Tuhaha yang pesisir pantainya banyak ditumbuhi pohon bakau dan jenis rumput laut oleh masyarakat di sana dinamakan lalamong, serta terumbu karang yang belum tercemar, merupakan tempat berkumpulnya ikan.
Nelayan yang menggunakan mesin motor, setelah melaut kurang lebih 3-25 meter dari pantai, mulailah nelayan memasang jaring atau juga menebarkan jala untuk mendapatkan hasil ikan yang cukup memadai untuk hari itu. Kalau mereka melaut pada musim ikan, maka mereka akan mendapat hasil yang banyak , namun kalau tidak musim ikan, mereka akan mendapat sedikit ikan bahkan kadang-kadang tidak mendapat seekorpun untuk dibawa pulang. Bila mendapat ikan, hasil tangkapan biasanya dibagi sama rata. Pada umunnya perahu dan alat tangkap yang dipergunakan milik nelayan itu sendiri, tidak meminjam milik orang lain atau menyewa. Cara penangkapannya sebagai berikut; mereka pergi mencari ikan atau melaut jarak dari tepi pantai sampai ke tempat mencari ikan cukup jauh kira-kira 1 sampai 2 mil dari pantai. Alat tangkap yang di pakai disebut manara rangke. Jenis tasik yang dipakai untuk membuat menara rangke adalah jenis 150. Tiap satu rangkai tasik bisa 10 sampai 15 mata kail untuk ukuran panjang tasik 12 m dan tiap mata kail panjangnya 50 cm Sedangkan tasik yang panjangnya 12 m dengan jarak per mata kail kira-kira 1,5 m. jenis ikan yang ditangkap dengan menggunakan menara ini biasanya cakalang, tuna /tatihu.
Setelah mereka mendapat ikan, nelayan tersebut akan kembali ke darat. Sampai di tepi pantai sudah menunggu ibu-ibu (disebut orang papalele) yang akan membeli ikan hasil tangkapan mereka. Namun ada juga yang dijual langsung oleh istri nelayan tersebut. Bila musim ikan susah, maka harga ikan akan mahal, namun bila ikan banyak, harga ikan akan murah, sehingga turut mempengaruhi
pendapatan para nelayan.
Kegiatan para nelayan dalam menangkap ikan, bukan hanya di pagi hari saja, tetapi ada juga di siang sampai sore hari. Ini dilakukan bila ikan banyak. Kegiatan melaut pada jam siang atau sore hari hanya menggunakan jala atau jarring saja.
Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tengah pada Tahun 20103 nelayan di Pulau Saparua dapat dibagi dalam kategori nelayan tangkap 2.939 orang, nelayan tambak 5 orang, budidaya laut 5 orang dan pengelolaan ikan 78 orang dan orang papalele (penjual) ikan berjumlah kurang lebih 86 orang, yang menurun cukup jauh dibanding dengan tahun 2009 yaitu 473 orang. Ketika ditelusuri, kebanyakan dari mereka bukan lagi sebagai penjual ikan, tetapi ada yang berdagang di Ambon bahkan sampai ke Sorong mengikuti anakanak mereka yang bersekolah di sana.
Berdasarkan data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tengah Tahun 20104 di Pulau Saparua terdapat sejumlah peralatan penangkapan ikan sebagai berikut:
Ø  Perahu tanpa motor 440 buah dan jenis jukung 904 buah,
Ø  Motor tempel jenis Yamaha 78 buah dan katinting 190 buah.
Ø  Perahu/kapal motor jenis (GT) 26 buah.
Sedangkan jumlah alat penangkapan ikan di Pulau Saparua adalah sebagai
berikut:
Ø  Pukat (jaring) pantai 25 buah yang biasa dipakai oleh nelayan untuk menangkap ikan jenis kalawinya (kembung), momor dan lain sebagainya. ukuran jaring sesuai dengan perahu yang digunakan. Pukat Cincing (jaring bobo) 15 buah biasanya digunakan pada jenis perahubesar (bodi).
Ø  Jaring Insang Hanyut (jaring anyo) 460 buah, ini biasanya dipergunakan pada malam hari, dinamakan jarring anyo, karena ditebar dan dibiarkan mengikuti arus gelombang (anyo).
Ø  Bagan perahu yaitu bagan yang menggunakan perahu 26 buah,
Ø  Bagan tancap yaitu bagan 3 buah,
Ø  Serok/tanggo 100 buah,
Ø  Huhate 320 buah,
Ø  Pancing tonda 375 buah, untuk mengael jenis ikan cakalang/tuna.
Ø  Pancing ulur yaitu jenis pancing yang menggunakan stik 590 buah,
Ø  Pancing tegak 408 buah untuk mangael jenis ikan batu-batu atau ikan dasar
Ø  Pancing cumi atau lambyung 98 buah,
Ø  pancing lainnya 179 buah,
Ø  sero 18 buah, bubu 74 buah,
Ø  perangkap lainnya 9 buah,
Ø  pengumpul kerang 2 buah,
Ø  pengumpul kepiting 9 buah,

Ø  Pengumpul Jala tebar /jala buang 85 buah, biasanya digunakan di daerah yang tidak jauh dari bibir pantai.

Selasa, 07 Juni 2016

Kinerja Alat Tangkap Ikan Cakalang Di Teluk Bone Kabupaten Luwu

KINERJA ALAT TANGKAP IKAN CAKALANG DI TELUK BONE KABUPATEN LUWU

PERFORMANCE OF FISHING GEAR ON SKIPJACK TUNA IN BONE BAY OF LUWU REGENCY
Akmaluddin, Najamuddin, Musbir
Prodi Ilmu Perikanan, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin
Alamat Korespondensi :
Akmaluddin, S.Pi
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan
Universitas Hasanuddin Makassar, 90245
HP : 085696071966         
Email :akmalsaleh01@gmail.com

PENDAHULUAN
Kabupaten Luwu merupakan salah satu kabupaten/kota di propinsi Sulawesi selatan dengan daerah pesisirnya berhadapan dengan perairan Teluk Bone. Dalam bidang perikanan tangkap terdapat berbagai jenis alat tangkap yang beroperasi di perairan Teluk Bone dengan target tangkapan yaitu jenis ikan pelagis besar, pelagis kecil, dan ikan demersal (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Luwu, 2012).
Salah satu spesies ikan hasil tangkapan utama nelayan di Kabupaten Luwu adalah ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) dengan nama perdagangan Skipjack tuna. Ikan ini sangat potensil dan menjanjikan keuntungan yang besar bagi para pelaku usaha perikanan cakalang setempat. Hal ini disebabkan ikan cakalang dijadikan bahan baku industri makanan dan menu  utama pada usaha kuliner di berbagai daerah dalam dan luar negeri, sehingga sangat diminati. Berangkat dari situ ikan cakalang diburu oleh nelayan dibeberapa kabupaten pesisir pantai Teluk Bone dengan menggunakan berbagai jenis alat tangkap dengan menggunakan teknologi penangkapan cakalang seperti pole and line atau huhate, pancing ulur atau hand line, dan payang (termasuk lampara) yang banyak digunakan oleh nelayan/pelaku usaha perikanan di Kabupaten Luwu (Katalog Badan Pusat Statistik, 2012).
Dengan perkembangan teknologi alat tangkap dari tahun ke tahun, maka perlu dilakukan penilaian kinerja alat tangkap atau pemilihan teknologi penangkapan cakalang, untuk mengetahui alat tangkap yang paling tepat dan paling unggul berdasarkan aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi.
Dalam penelitian yang sudah dilakukan terhadap teknologi penangkapan cakalang di Teluk Bone, beberapa diantara mengkaji tentang aspek teknis unit penangkapan pole and line di perairan Teluk Bone Kabupaten Luwu, dimana diperoleh hasik bahwa Ukuran rata-rata kapal pole and line adalah panjang (L) 22.42 m, lebar (B) 3.82 m dan tinggi (D) 1.83 m. Perbandingan L/B = 5,66 – 6,08, L/D = 11,39 –13,16, dan B/D = 1.94 – 2.26. Rasio standar kapal pole and line adalah L/B = 4.80, L/D = 10.00, B/D = 1.95 (Abdullah, A., 2011). Selanjutnya tentang hasil tangkapan berupa ikan cakalang yang di dominasi oleh ukuran kecil dan sedang (26-34 cm) terdapat sekitar 38,36 % belum layak tangkap (Mallawa, 2013). Selanjutnya Jamal, (2011), menjelaskan bahwa hasil tangkapan ikan cakalang yang tertangkap dengan ukuran yang tidak layak tangkap untuk kawasan Teluk Bone adalah 43,9%-54,6%. Hal ini tentu akan mengancam populasi ikan menuju kepunahan akibat adanya over exploited. Data dari instansi terkait menunjukkan bahwa terjadi penurunan produksi perikanan cakalang di perairan Kabupaten Luwu yang sangat signifikan yaitu pada tahun 2003-2006 dari 1157,9 ton/tahun menjadi 16,4 ton/tahun. Pada tahun 2007 secara berturut-turut hingga tahun 2011 terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, hingga mencapai 425,6 ton tahun 2011 (DKP Sul-Sel, 2012)
Berangakat dari uraian di atas maka, perlu adanya pengaturan mengenai alat tangkap yang berbasis sumberdaya ikan cakalang tepat guna dan layak untuk dikembangkan bedasarkan empat aspek pengelolaan (biologi, teknis, sosial, dan ekonomi).
Tujuang penelitian ini yaitu untuk mengkaji dan menentukan unit penangkapan ikan yang layak dikembangkan dan berbasis sumberdaya berdasarkan eampat aspek pengelolaan sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal.
BAHAN DAN METODE
Desain penelitian yaitu pertama menentukan responden yang mewakili sampel populasi nelayan sebagai pelaku usaha perikanan cakalang dalam hal ini pemilik kapal masing-masing alat kapal, termasuk kelompok nelayan setempat yang menguasai kondisi masyarakat nelayan setempat, staf dinas kelautan dan perikanan Kabupaten Luwu bidang perikanan tangkap, termasuk beberapa orang nelayan pekerja dan kapten kapal. Setelah responden di tentukan wawancara dilakukan berdasarkan daftar pertanyaan yang terstruktur terkait dengan keempat aspek pengelolaan yang dibutuhkan. Kemudian mengamati secara langsung kondisi alat tangkap yang ada, metode pengoperasian alat, hasil tangkapan, dan dokumentasi serta pengambilan data sekunder terkait.
Dalam penelitian ini menggunakan bahan dan alat berupa kamera untuk dokumentasi di lapangan, peralatan tulis menulis, daftar pertanyaan untuk wawancara dengan responden terkait, dan unit komputer untuk menyimpan, mengolah data dan menyusun laporan hasil.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu observasi dan wawancara secara terstruktur berdasarkan empat aspek (biologi, teknis, sosial dan ekonomi). Dengan mengamati secara langsung ke lapangan kondisi sosial masyarakat setempat, kondisi alat tangkap yang ada, dan hasil tangkapan cakalang sebagai data primer. Disamping itu untuk perhitungan analisis usaha, informasi mengenai total pengeluaran dan total pendapatan selama setahun yakni biaya investasi, biaya tetap, biaya variabel, dan jumlah nilai hasil tangkapan dari pemilik usaha perikanan.
Pemilihan responden sebagai sampel dilakukan secara purpose sampling (tidak acak). Sampel dipilih berdasarkan pertimbangan tertentu yang dipandang dapat memberikan data secara maksimal. Metode analisis data menggunakan metode skoring untuk penilaian kriteria dengan satuan berbeda. Skoring diberikan dengan nilai terendah dan tertinggi, dimana sebelumnya dilakukan standarisasi fungsi nilai dengan menggunakan rumus dari Mangkusubroto dkk, (1985).


Keterangan :
i = 1,2, 3,……..n
Xo = nilai terburuk pada criteria X
X1 = nilai terbaik pada criteria X
V(A) = fungsi nilai dari alternatif A
Vi(Xi) = Fungsi nilai dari alternatif i pada criteria ke - i
Penentuan unit penangkapan ikan pelagis menggunakan metode skoring, sebagai berikut :
Analisis aspek biologi : Selektivitas (X1), rata-rata ukuran ikan cakalang yang tertangkap (X2), lama waktu musim penangkapan ikan cakalang (X3), persentase ukuran laak tangkap (X4), dan penerapan teknologi ramah lingkungan (X5) yang diperoleh dari hasil wawancara dengan nelayan.
Analisis aspek teknis (perahu, alat penangkapan ikan pelagis dan hasil tangkapan). Sedangkan penilaian kriteria teknis dari unit penangkapan pelagis yaitu mencakup produksi per tahun (X1), produksi per trip (X2), dan produksi per tenaga kerja (X3) dari hasil wawancara.
Analisis aspek sosial yakni berkaitan dengan tenaga kerja yang diserap setiap unit penangkapan pelagis antara lain, jumlah tenaga kerja per unit alat tangkap (X1), tingkat penguasaan teknologi (X2), dan respon penerimaan nelayan setempat (X3).
Analisis aspek ekonomi dapat dijabarkan menjadi aspek ekonomi kriteria efisiensi usaha. Aspek ekonomi kriteria efisiensi usaha meliputi: penerimaan kotor per tahun (X1), penerimaan kotor per trip (X2), penerimaan kotor per tenaga kerja (X3), dan analisis kelayakan usaha adalah : Keuntungan (X4), dan Revenue Cost Ratio (R/C) (X5).
HASIL PENELITIAN
Analisis Aspek Biologi
Penilaian keunggulan unit penangkapan Ikan Cakalang berdasarkan Tabel 1, dapat dilihat bahwa aspek biologi menempatkan Hand line pada urutan prioritas pertama untuk keseluruhan kriteria komposisi target spesies (X1), ukuran hasil tangkapan utama (X2), lama waktu musim penangkapan Ikan Cakalang (X3), persentase ukuran layak tangkap (X4), dan penerapkan teknologi ramah lingkungan (X5). Setelah distandarisasi dengan fungsi nilai didapat bahwa Hand line lebih baik dari Pole and line dan Payang.
Analisis Aspek Teknis
Berdasarkan Tabel 2, menunjukkan bahwa penilaian keunggulan untuk aspek teknis, pada unit penangkapan Ikan Cakalang menempatkan pole and line pada prioritas pertama untuk kriteria seluruhnya yaitu produksi per tahun (X1), produksi per trip (X2) dan produksi per tenaga kerja (X3) lebih baik dari hand line dan payang.
Analisis Aspek Sosial
Pada Tabel 3, dapat dilihat bahwa setelah standarisasi fungsi nlai aspek sosial menunjukkan hand line adalah alat tangkap unggulan pada urutan prioritas pertama.
Analisis Aspek Ekonomi
Bersdasarkan Tabel 4, dapat dilihat bahwa keunggulan ekonomi setelah standarisasi menempatkan pole and line sebagai urutan prioritas pertama.
Analisis aspek biologi, teknis, sosial, dan ekonomi
Berdasarkan Tabel 5, dilaihat dari masing-masing aspek, pole and line lebih unggul pada dua aspek yaitu aspek teknis dan aspek ekonomi. Sedangkan pada aspek biologi dan sosial menempatkan hand line sebagai prioritas pertama. Untuk keseluruhan aspek pengelolaan menempatkan alat tangkap pole and line yang paling unggul dan prioritas pertama. Disamping itu untuk kelayakan usaha diperoleh bahwa usaha perikanan pole and line dan hand line lebih layak untuk dikembangkan karena menguntungkan pelaku usaha, sedangkan usaha perikanan payang tidak layak untuk dikembangkan karena mengalami kerugian tiap tahunnya.
PEMBAHASAN
Penelitian ini memperlihatkan bahwa unit penangkapan pole and line atau huhate merupakan unit penangkapan yang layak untuk dikembangkan karena berbasis sumbedaya berdasarkan empat aspek pengelolaan. Hal ini terkait dengan musim operasi penangkapan yang lebih lama dari hand line dan payang. Adanya ukuran kapal yang lebih besar berkisar 28 – 35 GT dan mesin penggerak berkisar 240 – 450 HP, maka mampu melakukan operasi peangkapan yang lebih jauh (lepas pantai) meski cuaca buruk untuk mencari gerombolan ikan cakalang (Mallawa dkk, 2009). Dibandingkan dengan Hand line dan payang hanya sekitar 3 – 4 mil dari pantai, dan ketika cuaca buruk maka tidak melakukan operasi penangkapan.
Berdasarkan ukuran hasil tangkapan ikan cakalang, maka hand line baik dari pole and line dan payang. Hal ini karena mata pancing yang digunakan lebih besar yaitu nomor 6 dibanding pole and line berkisar 2,5 – 4,0 sehingga ikan yang tertangkap juga lebih besar ukuran bukaan mulutnya. Disamping itu penangkapan dilakukan hingga kedalaman 500 meter kebawah permukaan laut dibandingkan dengan dua alat tangkap yang lain dekat dengan permukaan laut (Sadhori, 1985)
Berdasarkan selektivitas menunjukkan bahwa alat tangkap hand line merupakan alat tangkap unggulan, ini menunjukkan bahwa Hand line yang dioperasikan di perairan Teluk Bone Kabupaten Luwu menangkap ikan cakalang dengan ukuran yang relatif sama.
Penggunaan nomor mata pancing yang seragam memungkinkan jenis ikan yang tertangkap juga hanya satu jenis dengan ukuran yang relatif seragam, sebagaimana diungkapkan oleh Mallawa, (2013) bahwa Hand line merupakan unit penangkapan yang memiliki nilai aspek biologi/selektivitas yang tinggi. Selain itu Baskoro, (1999), bahwa unit penangkapan pancing memiliki nilai aspek biologi yang tinggi. Disamping itu, terkait dengan alat tangkap jenis pancing, Rukka, (2007), menyatakan bahwa alat tangkap pancing tonda merupakan alat tangkap unggulan berdasarkan standarisasi fungsi biologi.
Payang yang dioperasikan sekitar perairan pantai, yaitu sekitar 2-3 mil dari pantai dengan kedalaman sekitar 40-50 m, dimana pada bagian kantong dengan ukuran bukaan mata jaring 1,5-5 cm, sehingga ikan yang memiliki lingkar tubuh kurang dari 1,5-5 cm akan lolos.
Memungkinkan ikan-ikan kecil dan belum memijah atau belum layak tangkap dengan ragam spesies ikan juga ikut tertangkap di kantong payang atau komposisi jenis ikan lebih banyak dari hand line dan pole and line. Pole and line memiliki mata pancing dengan nomor berkisar 2,5-4,0, dengan ikan target yaitu cakalang sehingga memungkinkan ikan cakalang yang tertangkap memiliki ukuran yang beragam ukuran relatif lebih kecil dari hand line, sehingga sebagian kecil masih ditemukan ikan yang belum matang gonad atau tidak layak tangkap.
Kriteria alat tangkap ramah lingkungan didasarkan pada Monintja, (2000), yaitu selektivitas tinggi, artinya teknologi yang digunakan mampu meminimalkan hasil tangkapan yang bukan merupakan target. Tidak destruktif terhadap habitat yang akan membahayakan kelestarian produksi ikan. Tidak membahayakan nelayan yang mnegoperasikan teknologi tersebut. Menghasilkan ikan yang bermutu tinggi dan tidak membahayakan kesehatan konsumen. Berdampak minimum terhadap keanekaragaman sumberdaya hayati. Diterima secara sosial. Sedangkan Menurut Arimoto, (1999), teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan adalah suatu alat tangkap yang tidak memberikan dampak lingkungan, tidak merusak dasar perairan (benthic disturbance), kemungkinan hilangnya alat tangkap kecil, serta kontribusinya terhadap polusi rendah.
Dalam aspek teknis penelitian ini memperlihatkan bahwa pole and line merupakan alat tangkap prioritas utama. Hal ini terjadi karena menurut hasil wawancara dengan nelayan setempat bahwa penangkapan pole and line dilakukan hampir sepanjang tahun yaitu 9 bulan lebih (musim puncak dan musim biasa) meski ada beberapa waktu-waktu tertentu tidak melakukan operasi karena adanya ombak besar. Disamping itu penangkapan juga di lakukan pada daerah fishing ground yang jauh dari pantai hingga ke kawasan bagian tengah teluk bone, baik pada rumpn maupun non rumpon. Pada musim puncak kadang di peroleh hingga 1 ton ikan cakalang per hari dengan fishing ground sekitar perairan pantai (Mallawa, 2012).
Untuk aspek sosial dapat dilihat bahwa setelah standarisasi fungsi nlai aspek sosial menunjukkan hand line adalah alat tangkap unggulan pada urutan prioritas pertama. Urutan prioritas pertama pada aspek sosial menunjukkan bahwa hand line termasuk alat tangkap yang memiliki investasi dan biaya operasional yang terjangkau dan diterima oleh kebanyakan masyarakt nelayan setempat, sesuai dengan kondisi finansial nelayan pada umumnya. Hal ini dikarenakan sebagian besar masyarkat nelayan yang menangkap ikan cakalang memiliki kemampuan ekonomi yang relatif rendah dibandingkan status sosial lainnya, sehingga dalam hal proses produksi nelayan akan menggunakan alat produksi dalam hal ini alat tangkap yang investasinya relatif lebih rendah dibandingkan alat tangkap lainnya.
Keunggulan ekonomi adalah nilai produksi cakalang yang dihasilkan dikurangi dengan keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan produksi cakalang. Sebagaimana diketahui bahwa kemampuan menangkap pole and line lebih besar dibandingkan kedua alat tangkap lainnya, sehingga produksi cakalang pada pole and line juga akan lebih besar. Produksi hasil tangkapan ini berkaitan erat dengan nilai jual dari cakalang, yaitu semakin besar produksi maka nilai jual yang dihasilkan juga akan lebih besar.
Demikian juga dengan pendapatan ABK, karena keuntungan yang semakin besar akan menyebabkan bagi hasil juga akan meningkat akibatnya pendapatan ABK pole and line akan lebih besar dibandingkan alat tangkap lainnya.
Untuk analisis kelayakan usaha, diperoleh nilai Revenue Cost Ratio untuk pole and line tertinggi yaitu 1,52, dimana R/C > 1 artinya nilai total penerimaan lebih besar dari nilai total pengeluaran sehingga alat tangkap ini layak untuk di lanjutkan dan dikembangkan karena sangat menguntungkan para pelaku usaha perikanan.
Dilihat dari masing-masing aspek, pole and line lebih unggul pada dua aspek yaitu aspek teknis dan aspek ekonomi. Hal ini terjadi karena pole and line merupakan alat tangkap yang lebih produktif dalam hal kuantitas jumlah hasil tangkapan utamanya ikan cakalang sebagai ikan target sehingga nilai penerimaannya juga sangat besar, sehingga dinilai lebih menguntungkan dibanding kedua alat tangkap lainnya. Sedangkan pada aspek biologi dan sosial menempatkan hand line sebagai prioritas pertama, karena tingkat selektivitas dan ramah lingkungan yang tinggi pada alat tangkap tersebut dan nilai investasinya juga realtif rendah atau terjangkau oleh kebanyakan masyarkat nelayan setempat, sehingga lebih diminati untuk dijadikan usaha. Terkait dengan ramah lingkungan sebuah alat tangkap, menurut Sultan, (2004), jenis alat tangkap yang masuk kategori ramah lingkungan adalah jaring insang hanyut, pancing tonda, pancing tangan, pancing cumi, rawai dasar, bubu labu, rawai cucut dan purse seine.
Hasil dari total standarisasi berdasarkan aspek biologi, teknis, sosial, dan ekonomi unit penangkapan Ikan cakalang di Kabupaten Luwu maka yang menjadi prioritas pengembangan adalah alat tangkap Pole and line pada urutan pertama, Hand line pada urutan kedua, dan Payang pada urutan ketiga. Hal senada juga di ungkapkan oleh Syamsuddin dkk, (2008), bahwa alat tangkap pole and line dan pancing tonda yang dioperasikan di Kota
Kupang, Laut Flores dan Laut Sawu merupakan alat tangkap unggulan berdasarkan standarisasi fungis kriteria ramah lingkungan karena menangkap ikan cakalang dengan ukuran yang relatif sama, dengan menggunakan mata pancing yang sama.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan atas tujuan dan hasil penelitian yang telah dicapai dalam penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpula bahwa hasil analisis kinerja pada ketiga alat tangkap berdasarkan aspek biologi, teknis, sosial, dan ekonomi unit penangkapan Ikan cakalang di maka yang menjadi prioritas pengembangan adalah alat tangkap Pole and line pada urutan pertama, kemudian hand line, dan terakhir payang. Adapun saran sebagai bahan masukan untuk kemaslahatan pengelolaan perikanan tangkap secara umum dan perikanan cakalang secara khusus di Teluk bone adalah perlu dilakukan penelitian untuk teknologi penangkapan cakalang lainnya yang beroperasi di Teluk Bone seperti pancing tonda, purse seine, rawai tuna, jaring insang hanyut, dan alat tankap lainnya sebagai bahan perbandingan dalam hal kinerja, kelayakn usaha dan dampak teknologinya terhadap populasi ikan cakalang.

DAFTAR PUSTAKA
Arimoto T. (1999). Research and Education System of Fishing Technology in Japan. The 3 rd JSPS International Seminar. Suistainable Fishing Technology in Asiatoword the 21st Century. P23-37.
Abdullah A. (2011). Analisis aspek teknis unit penangkapan pole and line di perairan Teluk Bone Kabupaten Luwu (Skripsi). Makassar: Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin.
Baskoro M.S. (1999). Capture Process of  The Floated Bamboo Platform Liftnet With Light Attraction (Bagan). Doctoral Course of Marine Science and Technology. Tokyo University of Fisheries. Tokyo.
Dinas Kelautan dan Perikanan. (2012). Data Statistik Perikanan Tangkap. Sulawesi selatan.
Dinas Kelautan dan Perikanan. (2012). Data Statistik Perikanan Tangkap. Kabupaten Luwu.
Jamal M., Sondita M.F.A., Haluan J. & Wiryawan B. (2011). Pemanfaatan data biologi ikan cakalang (katsuwonus pelamis) dalam rangka pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab di perairan Teluk Bone. Jurnal Natur Indonesia. 14 : 207 – 113.
Katalog Badan Pusat Statistik. (2012). Kabupaten Luwu dalam Angka. Badan Pusat Statistik. Kabupaten Luwu.
Mallawa A. (2013). Analisis tekanan teknologi penangkapan ikan terhadap populasi ikan cakalang (katsuwonus pelamis) di perairan Teluk Bone, Sulawesi selatan. Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin. Makassar.
Mallawa A. (2012). Aspek perikanan dan prediksi tangkapan per unit upaya ikan cakalang (katsuwonus pelamis) di perairan Luwu Teluk Bone Sulawesi selatan. Laporan Akhir Hibah Penelitian Strategis Nasional. Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin. Makassar.
Mallawa A. & Palo M. (2009). Pemetaan daerah potensial penangkapan ikan tuna (Thunnus sp) dan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan Teluk Bone. Laporan Akhir Hibah Penelitian Strategis Nasional. Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin. Makassar, 51 p.
Mangkusubroto K. & Trisnadi C.L. (1985). Analisis keputusan pendekatan sistem dan management usaha dan proyek. Ganesa Exacta. Bandung.
Monintja D.R. (2000). Prosiding Pelatihan untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor, 156 hal.
Rukka A. H. (2006). Pengembangan Perikanan Tangkap Ikan Cakalang di Perairan Kabupaten Selayar (Tesis). Program Pascasarjana IPB. Bogor.
Sadhori N. (1985). Tehnik Penangkapan Ikan. Penerbit Angkasa. Bandung.
Sultan M. (2004). Pengembangan Perikanan Tangkap di Kawasan Taman Nasional Laut  Taka Bonerate (Disertasi). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Syamsuddin, Mallawa A., Najamuddin & Sudirman. (2008). Analisis Pengembangan Perikanan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis, Linnaeus) berkelanjutan) di Perairan Kupang Nusa Tenggara Timur. J. Elektronik PPS UnHas. Diakses 20 April 2013. Available from: http://pasca .unhas.ac.id.


Senin, 06 Juni 2016

Alat Tangkap Tramel Net

ALAT TANGKAP TRAMEL NET
Trammel Net merupakan salah satu jenis alat penangkap ikan yang banyak digunakan oleh nelayan. Hasil tangkapannya sebagian besar berupa udang, walaupun hasilnya masih jauh dibawah pukat harimau (trawl). Secara umum, Trammel net banyak dikenal nelayan sebagai ? Jaring kantong?, Jaring Gondrong? atau ? Jaring Udang?.Sejak pukat harimau dilarang penggunaannya, Trammel net ini semakin banyak digunakan oleh nelayan.Konstruksi dan desain Trammel net sangat sederhana sehingga mudah dibuat sendiri oleh nelayan. Alat tersebut merupakan jaring berbentuk empat persegi panjang dan terdiri dari tiga lapis jaring, yaitu: dua lembar? jaring luar? dan satu lembar ? jaring dalam?.
Agar alat tersebut terbuka tegak lurus di perairan pada saat dioperasikan, maka Trammel net dilengkapi pula dengan pelampung, pemberat dan tali ris. Dengan demikian alat ini digolongkan juga sebagai jarring insang (gill net). Bedanya kalau Trammel net terdiri dari 3 lapis jaring, sedangkan gill net hanya 1 lapis jaring. Dengan konstruksi tersebut, Trammel net sering juga disebut sebagai ?jaring insang berlapis tiga'(triple net ).Biasanya tertangkapnya ikan atau udang pada Trammel net karena tersangkut jaring dan bukanya terjerat pada insangnya. Sehingga pada saat melepaskan hasil tangkapan (ikan atau udang) agak sulit dan bila bahan jaring tidak kuat dapat mengakibatkan jaring tersebut sobek. Oleh karena itu agar
Trammel net mempunyai daya tahan lebih tinggi dan lebih efisien, maka konstruksi jaring dan ukuran benang harus kuat. Sebagai bahan untuk pembuatan tubuh jaring (daging jaring) digunakan bahan sintetis Polyamide (PA). Sedangkan untuk bagian pinggiran jaring (selvage) digunakan bahan dari Polyethylene (PE). Penggunaan bahan tersebut agar Trammel net digunakan agar tidak mudah rusak dan lebih tahan lama (BIPU, 2000).Penggunaan Trammel net banyak digunakan dalam operasi penangkapan udang di perairan pantai utara Jawa. Penggunaan pukat harimau yang merajalela di perairan tersebut mulai beralih pada Tahun 1980-an karena diberlakukannya Keputusan Presiden Nomor 39 mengenai pelarangan alat tangkap pukat harimau.
Efektifitas dalam menangkap ikan dan udang masih rendah dibandingkan pukat harimau, namun demikian penggunaan alat tangkap ini banyak digunakan selain alat tangkap sejenis dan alat tangkap lain seperti pukat cincin, jaring insang rajungan (bottom gill net).3.2 Konstruksi Alat. Tubuh Jaring Tubuh jaring (webbing) atau daging jaring merupakan bagian jaring yang sangat penting, karena pada bagian inilah udang atau ikan tertangkap secara terpuntal (tersangkut ) jaring. Tubuh jaring terdiri dari 3 lapis, yaitu 1 lapisan jaring dalam dan 2 lapisan jaring luar yang mengapit lapisan jaring dalam. Ukuran mata jaring lapisan dalam lebih kecil dari pada ukuran mata jaring lapisan luar.Lapisan jaring dalam terbuat dari bahan Polyamide (PA) berukuran 210 dp-210 d4. Ukuran mata jaring nya berkisar antara 1,5 ? 1,75 inchi ( 38,1 mm -44,4 mm ). Setiap lembar jaring mempunyai ukuran panjang 65,25 m (1.450 mata ) dan tingginya 51 mata.Lapisan jaring luar juga terbuat dari Polyamide (PA) hanya saja ukuran benangnya lebih besar yaitu 210 d6.
Setiap lembar jaring panjangnya terdiri dari 19 mata dan tingginya 7 mata dengan ukuran mata jaring 10,4 inchi (265 min). B.Salage (Srampet) Untuk memperkuat kedudukan jaring pada penggantungnya, maka pada bagian pinggir jaring sebelah atas dan bawah dilengkapi dengan selvage (srampat). Selvage tersebut berupa mata jaring yang dijurai dengan benang rangkap sehingga lebih
kuat. Selvage tersebut mempunyai mata jaring berukuran 45 mm, dan terdiri dari 1 ? 2 mata pada pinggiran jaring bagian atas dan 5 ? 6 mata pada pinggiran jaring bagian bawah. Sebagai bahan selvage sebaiknya Kuralon atau Polyethylene (PE) dengan ukuran 210 d4 ? 210 d6.C. Tali RisTrammel net dilengkapi dengan dua buah tali ris yaitu tali ris atas dan tali ris bawah. Fungsi tali ris adalah untuk menggantungkan tubuh jaring dan sebagai penghubung lembar jaring satu dengan lembar jaring lainnya secara horizontal (memanjang). Sebagai bahan untuk pembuatan tali ris adalah Polyethylene (PE) dengan garis tengah tali 2 ? 4 mm. Panjang tali ris atas berkisar antara 25,5 ? 30 m, sedangkan tali ris bawah antara 30 ? 32 m.D. Pelampung Pelampung merupakan bagian dari
Trammel net yang berfungsi sebagai pengapung jaring pada saat dioperasikan. Jenis pelampung yang digunakan adalah plastik No. 18 dengan jarak pemasangan antara 40 ? 50 cm. Tali pelampung terbuat dari bahan Polyethylene dengan garis tengah 3 ? 4 mm E.PemberatPada Trammel net, pemberat berfungsi sebagai pemberat jaring pada saat dioperasikan Dengan adanya pelampung dan pemberat tersebut, maka jaring dapat terbuka secara tegak lurus di perairan sehingga dapat menghadangkan atau udang yang menjadi tujuan penangkapan. Pemberat tersebut dibuat dari bahan timah (timbel) yang berbentuk lonjong, dengan berat antara 10 ? 13 gram/buah. Pemasangan pemberat dilakukan dengan jarak antara 19 ? 25 cm, pada sebuah tali yang terbuat dari Polyethylene dengan garis tengah 2 mm. Disamping itu biasanya pada jarak 12 m dari ujung jaring pada tali yang diikatkan ke kapal masih dipasang pemberat tambahan dari batu seberat kira-kira 20 kg.
F. Tali Peng penghubung Ke kapal Trammel net juga dilengkapi dengan tali yang terbuat dari Polyethylene bergaris tengah 7,5 ? 10 mm untuk menghubungkan jaring dengan kapal dan juga sebagai penghubung antara jaring dengan pelampung utama (berbendera) sebagai tanda. Selain itu juga dilengkapi sebuah swivel dengan garis tengah 6 ? 7,5 cm yang dipasang pada sambungan tali ke kapal dan kedua tali ris atas dan bawah.3.3 Operasi Penangkapan a.CaraLurus.Cara ini adalah yang biasa dilakukan oleh para nelayan, Jumlah lembaran jaring berkisar antara 10 ? 25 tinting. Perahu yang digunakan adalah perahu tanpa motor atau motor tempel, dengan tenaga kerja antara 3 ? 4 orang. Pada cara ini Trammel net dioperasikan di dasar laut secara lurus dan berdiri tegak. Setelah ditunggu selama 1/2 ? 1 jam, kemudian dilakukan penarikan dan penglepasan ikan atau udang yang tertangkap.b.CaraSetengahLingkaran.Pengoperasiannya dilakukan dengan menggunakan perahu motor dalam (inboard motor) atau perahu motor luat (outboard motor). Satu unit Trammel net dapat mengoperasikan jaring 60 ? 80 tinting (lembar jaring) dengan tenaga kerja sebanyak 8 orang. Pada cara ini Trammel net dioperasikan di dasar perairan dengan melingkarkan jaring hingga membentuk setengah lingkaran. Kemudian ditarik ke kapal dan ikan & udang yang tertangkap dilepaskan.c.CaraLingkaranPengoperasiannya dilakukan dengan menggunakan perahu motor dalam seperti pada cara setengah lingkaran. Caranya adalah dengan melingkarkan jaring di dasar perairan hingga membentuk lingkaran. Setelah itu jaring ditarik ke kapal dan udang & ikan yang tertangkap diambil.3.4 Hasil Tangkapan Jenis hasil tangkapan utama alat tangkap Trammel net adalah udang.
Beberapa jenis ikan lain yang tertangkap dengan alat tangkap ini antara lain jenis ikan dasar seperti ikan pari, gulamah, kerot-kerot dan lain-lain (BPPI, 2002).Daerah Penangkapan (Fishing Ground) di Perairan Pantura JawaDaerah penangkapan ikan pengoperasian alat tangkap Trammel net di perairan pantai utara Jawa umumnya digunakan di perairan tertentu yang memiliki kecerahan sedang, salinitas rendah dan dasar perairan pasir berlumpur (Iskandar, 1996). Penggunaan alat tangkap ini umunya ditujukan untuk menangkap udang yang, sehingga pemilihan daerah penangkapan oleh nelayan berdampak pada jumlah hasil tangkapan. Umumnya, nelayan Pantura Jawa yang masih tradisional menggunakan perkiraan (feeling), informasi nelayan lain dan kebiasaan dalam menentukan lokasi operasi penangkapan udang. Oleh karena itu, hal ini masih memiliki banyak spekulasi dengan tingkat efisiensi hasil tangkapan dan tingkat efektifitas penggunaan alat rendah.- Strategi Penangkapan dan Penanganan yang Efektif
Dalam melakukan operasi penangkapan ikan menggunakan Trammel net, beberapa hal yang menjadi masalah adalah jumlah hasil tangkapan utama yang sedikit, penentuan daerah penangkapan yang tidak sesuai dan salah sasaran, mudahnya alat tangkap mengalami kerusakan, dan hasil tangkapan yang memiliki nilai jual rendah. Oleh karena itu, perlu dilakukan beberapa lahkah strategi dalam menggunakan alat tangkap Trammel net dan menangani hasil tangkapan sehingga memiliki efektifitas yang tinggi.Beberapa langkah strategi penggunaan dan penanganan yang dilakukan antara lain : a. pemilihan alat tangkapBahan untuk pembuatan jaring umumnya digunakan bahan sintetis Polyamide (PA) dan Polyethylene (PE). Penggunaan bahan yang tepat adalah bahan yang tidak mudah putus dan resisten terhadap korosi dan gesekan akibat penarikan jaring. Bagi nelayan tradisional, jarring yang digunakan disarankan terbuat dari bahan yang bagus dan murah.b. persiapan penagkapan ikanPersiapan operasi penangkapan ikan meliputi persiapan alat tangkap (jaring dan kelengkapannya), peralatan lain seperti lampu dan bakul (box) pengumpul ikan, serta kapal atau perahu yang siap untuk digunakan. Alat tangkap ditumpuk secara rapi agar mudah digunakan pada saat diturunkan dan dinaikkan kembali.
Lampu untuk menerangi kapal pada saat operasi pada malam hari. Box yang sudah diisi dengan es agar udang atau ikan masih dalam kondisi segar pada saat dijual.c.Penentuan daerah danwakt penangkapan ikanUntuk mengetahui secara pasti daerah penangkapan, nelayan tidak hanya menggunakan feeling, kebiasaan, dan informasi nelayan lain saja, tapi perlu didukung dengan informasi dan peralatan lain yang secara pasti menunjukkan keberadaan gerombolan ikan yang dituju. Informasi dapat diperoleh dari liputan sebaran ikan menggunakan citra satelit yang saat ini diperoleh di Dinas Perikanan dan Kelautan setempat yang berasal dari Badan Riset Departemen Kelautan dan Perikanan. Peralatan yang secara langsung dapat menangkap keberadaan ikan seperti fish finder akan memberikanmanfaatagaroperasiTrammelnetiniefektif.Operasi penangkapan juga memerlukan penentuan waktu yang tepat agar hasil tangkapan maksimal. Operasi penangkapan dilakukan baik pada siang atau pun malam hari tergantung jenis ikan yang akan ditangkap. Jenis udang dan rajungan dilakukan pada malam hari, sedangkan jenis ikan lain ada yang dilakukan pada siang hari. d. pengunaan alat tangkap dan cara perawatanya Operasi alat tangkap yang sesuai mulai dari penyimpanan alat tangkap, menurunkannya, menarik kembali dan menyimpannya perlu dilakukan secara baik dan benar agar alat tangkap tidak mudah rusak serta dapat digunakan dalam waktu lama.
Perawatan pasca pemakaian perlu dilakukan, pembusukan ikan bekas tangkapan pada jaring agar segera dibersihkan, bagian yang putus dan robek akibat gesekan agar segera disambung dan diperbaiki, serta selalu membersihkan jaring setelah melakukan operasi penangkapan. e. penangganan ikan hasil tangkaan Ikan yang terjerat pada jaring agar dilepaskan secara hati-hati agar tubuh ikan tidak rusak dan jaring tidak putus. Ikan yang tertangkap segera dikumpulkan dalam palkah atau box yang telah diisi dengan es atau bersuhu rendah. Ikan disortir berdasarkan jenis dan ukuran masing-masing. Ikan yang dikumpulkan harus terhindar dari sinar matahari secara langsung dan disimpan dalam suhu rendah.
Penyimpanan ikan dalam suhu rendah diharapkan dapat menjaga mutu ikan yang akan dijual. Sumber daya perikanan demersal perairan dianalisis melalui data lapangan yang dilakukan bersama nelayan jaringan arad, yang merupakan jaringan dasar dan umumnya mendapatkan jenis-jenis udang disamping juga beberapa jenis ikan dasar. Jenis-jenis udang yang dominan tertangkap dan mempunyai nilai ekonomis tinggi adalah udang putih (Penaeus merguiensis), udang krosok (Metepenaeus sp) dan udang belang (Parapneosis ap). sedang jenis-jenis ikan lidah (Cynoglossidae), ikan petek (Leioghnathus sp) dan ikan sebelah (Engyprosopon sp).
Ditinjau dari aspekekonimi jenis ikan yang potensi di ekspor adalah ikan layur. Pada musim tertentu , biasanya musim penghujan
juga banyak tertangkap rajungan (Portunus pelagicus) yang sebenarnya spesies pelagis dan jenis ini merupakan komoditas ekspor yang cukup penting disamping udang putih.Ditinjau dari banyaknya jumlah jenis/spesies ikan demersal yang tertangkap Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com | Page 2/3 |

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah Export date: Tue May 24 4:10:43 2016 / +0000 GMT mengidentifikasikan bahwa keanekaragaman hayati perikanan demersal perairan Semarang masih cukup baik. Dalam kajian ini didapatkan jumlah jenis ikan demersal sekitar 21 jenis/spesies. Kenyataan lain yang dari studi di lapangan bahwa perikanan demersal perairan Semarang juga mempunyai potensi biomas keong?escargot?(Babylonia sp) dan keong ?bako? (Hemifusus tertanus) yang juga merupakan komoditi ekspor. Namun untuk ini perlu dijaga dan musim penangkapannya, guna menjaga kelestariannya.Secara umum dapat di simpulkan bahwa biomas ikan demersal agak menyebar di tengah(agak dalam),sedang biomas udang menyebar di sepanjang pinggir pantai. Berdasarkan kajian ini hasil tangkapan yang menggunakan perahu tradisional dan jaring arad ini berkisar antara 7-120 kg/haul. Hasil ini cukup baik untuk nelayan tradisional,dan untuk ini tetap disarankan agar hal ini dapat di jaga untuk kelestariannya.Selanjutnya berdasarkan data 'log-book' operasi penangkapan bersama cantrang dan trammel-net dapat di plotkan sebaran biomas dan fishing-ground untuk perikanan udang dan ikan rucah. Jenis udang yang tertangkap trammel net di antaranya adalah udang putih (Penaeus merguiensis), udang krosok(Metapenaeus sp) dan udang belang Parapneosis sp.Jenis ikan dasar/demersal lain yang cukup dominan serta mempunyai prospek baik untuk dikembangkan adalah ikan sebelah Engyprosopon sp.dan ikan lidah(Cynoglossidae), serta iakn layur(Trichiurus sp) yang akhir-akhir ini merupakan ikan eksport ke negara Jepang.Namun untuk ini perlu dikethui bahwa ukuran yangdiminati adalah ukuran panjang diatas 20 cm. Maka diperlukan pembinaan pada nelayan agar mau mengubah/memodifikasi mata jaring lebih besar sehingga yang tertangkap adalah jenis yang besar dan juga untuk penangkapannya jenis ikan sebelah ini perlu kecepatan penarikan jaring lebih besar (sekitar 4-5 knot) Sedang untuk penarikan udang cukup dengan kecepatan antara 2-3 knot.Dari total produksi hasil tangkapan alat cantrang dapat dipisahkan dengan urutan menurut besar nya produksi adalah iakn rucah(campuran), ikan petek(Leiognathidae), ikan beloso,ikan tigowojo dan ikan pari/pe. Berdasarkan plot data sebaran ikan rucah yang berada di perairan Semarang, menunjukan bahwa konsentrasi gerombolan ikan tidak merata dengan garis kepadatan hasil tangkap berkisar antara 7.00 Kg/catch sampai 13.00 Kg/catch. Dari hasil tangkapannya terlihat bahwa jenisnya cukup beragam, diantaranya seperti ikan kuniran(Upeneus Sp), ikan layur (Trichiuridae), ikan gerot-gerot (Pomadasyidae) dan ikan sebelah (psettodidae), ikan buntal (tetraodontidae) dan ikan lainnya.