KINERJA ALAT TANGKAP IKAN CAKALANG DI TELUK BONE KABUPATEN LUWU
PERFORMANCE OF
FISHING GEAR ON SKIPJACK TUNA IN BONE BAY OF LUWU REGENCY
Akmaluddin, Najamuddin, Musbir
Prodi Ilmu Perikanan, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin
Akmaluddin, Najamuddin, Musbir
Prodi Ilmu Perikanan, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin
Alamat
Korespondensi :
Akmaluddin,
S.Pi
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan
Universitas Hasanuddin Makassar, 90245
HP : 085696071966 Email :akmalsaleh01@gmail.com
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan
Universitas Hasanuddin Makassar, 90245
HP : 085696071966 Email :akmalsaleh01@gmail.com
PENDAHULUAN
Kabupaten Luwu merupakan salah satu kabupaten/kota di
propinsi Sulawesi selatan dengan daerah pesisirnya berhadapan dengan perairan
Teluk Bone. Dalam bidang perikanan tangkap terdapat berbagai jenis alat tangkap
yang beroperasi di perairan Teluk Bone dengan target tangkapan yaitu jenis ikan
pelagis besar, pelagis kecil, dan ikan demersal (Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Luwu, 2012).
Salah satu spesies ikan hasil tangkapan utama nelayan di
Kabupaten Luwu adalah ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) dengan nama
perdagangan Skipjack tuna. Ikan ini sangat potensil dan menjanjikan keuntungan
yang besar bagi para pelaku usaha perikanan cakalang setempat. Hal ini
disebabkan ikan cakalang dijadikan bahan baku industri makanan dan menu utama pada usaha kuliner di berbagai daerah
dalam dan luar negeri, sehingga sangat diminati. Berangkat dari situ ikan
cakalang diburu oleh nelayan dibeberapa kabupaten pesisir pantai Teluk Bone
dengan menggunakan berbagai jenis alat tangkap dengan menggunakan teknologi penangkapan
cakalang seperti pole and line atau huhate, pancing ulur atau hand line, dan payang
(termasuk lampara) yang banyak digunakan oleh nelayan/pelaku usaha perikanan di
Kabupaten Luwu (Katalog Badan Pusat Statistik, 2012).
Dengan perkembangan teknologi alat tangkap dari tahun ke
tahun, maka perlu dilakukan penilaian kinerja alat tangkap atau pemilihan
teknologi penangkapan cakalang, untuk mengetahui alat tangkap yang paling tepat
dan paling unggul berdasarkan aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi.
Dalam penelitian yang sudah dilakukan terhadap teknologi
penangkapan cakalang di Teluk Bone, beberapa diantara mengkaji tentang aspek
teknis unit penangkapan pole and line di perairan Teluk Bone Kabupaten Luwu,
dimana diperoleh hasik bahwa Ukuran rata-rata kapal pole and line adalah
panjang (L) 22.42 m, lebar (B) 3.82 m dan tinggi (D) 1.83 m. Perbandingan L/B =
5,66 – 6,08, L/D = 11,39 –13,16, dan B/D = 1.94 – 2.26. Rasio standar kapal
pole and line adalah L/B = 4.80, L/D = 10.00, B/D = 1.95 (Abdullah, A., 2011). Selanjutnya
tentang hasil tangkapan berupa ikan cakalang yang di dominasi oleh ukuran kecil
dan sedang (26-34 cm) terdapat sekitar 38,36 % belum layak tangkap (Mallawa,
2013). Selanjutnya Jamal, (2011), menjelaskan bahwa hasil tangkapan ikan
cakalang yang tertangkap dengan ukuran yang tidak layak tangkap untuk kawasan
Teluk Bone adalah 43,9%-54,6%. Hal ini tentu akan mengancam populasi ikan
menuju kepunahan akibat adanya over exploited. Data dari instansi terkait
menunjukkan bahwa terjadi penurunan produksi perikanan cakalang di perairan
Kabupaten Luwu yang sangat signifikan yaitu pada tahun 2003-2006 dari 1157,9 ton/tahun
menjadi 16,4 ton/tahun. Pada tahun 2007 secara berturut-turut hingga tahun 2011
terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, hingga mencapai 425,6 ton
tahun 2011 (DKP Sul-Sel, 2012)
Berangakat dari uraian di atas maka, perlu adanya pengaturan
mengenai alat tangkap yang berbasis sumberdaya ikan cakalang tepat guna dan
layak untuk dikembangkan bedasarkan empat aspek pengelolaan (biologi, teknis,
sosial, dan ekonomi).
Tujuang penelitian ini yaitu untuk mengkaji dan menentukan
unit penangkapan ikan yang layak dikembangkan dan berbasis sumberdaya berdasarkan
eampat aspek pengelolaan sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal.
BAHAN
DAN METODE
Desain penelitian yaitu pertama menentukan responden
yang mewakili sampel populasi nelayan sebagai pelaku usaha perikanan cakalang
dalam hal ini pemilik kapal masing-masing alat kapal, termasuk kelompok nelayan
setempat yang menguasai kondisi masyarakat nelayan setempat, staf dinas
kelautan dan perikanan Kabupaten Luwu bidang perikanan tangkap, termasuk
beberapa orang nelayan pekerja dan kapten kapal. Setelah responden di tentukan
wawancara dilakukan berdasarkan daftar pertanyaan yang terstruktur terkait
dengan keempat aspek pengelolaan yang dibutuhkan. Kemudian mengamati secara
langsung kondisi alat tangkap yang ada, metode pengoperasian alat, hasil tangkapan,
dan dokumentasi serta pengambilan data sekunder terkait.
Dalam penelitian ini menggunakan bahan dan alat berupa
kamera untuk dokumentasi di lapangan, peralatan tulis menulis, daftar
pertanyaan untuk wawancara dengan responden terkait, dan unit komputer untuk
menyimpan, mengolah data dan menyusun laporan hasil.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
observasi dan wawancara secara terstruktur berdasarkan empat aspek (biologi,
teknis, sosial dan ekonomi). Dengan mengamati secara langsung ke lapangan
kondisi sosial masyarakat setempat, kondisi alat tangkap yang ada, dan hasil
tangkapan cakalang sebagai data primer. Disamping itu untuk perhitungan analisis
usaha, informasi mengenai total pengeluaran dan total pendapatan selama setahun
yakni biaya investasi, biaya tetap, biaya variabel, dan jumlah nilai hasil
tangkapan dari pemilik usaha perikanan.
Pemilihan responden sebagai sampel dilakukan secara
purpose sampling (tidak acak). Sampel dipilih berdasarkan pertimbangan tertentu
yang dipandang dapat memberikan data secara maksimal. Metode analisis data
menggunakan metode skoring untuk penilaian kriteria dengan satuan berbeda.
Skoring diberikan dengan nilai terendah dan tertinggi, dimana sebelumnya dilakukan
standarisasi fungsi nilai dengan menggunakan rumus dari Mangkusubroto dkk, (1985).
Keterangan :
i = 1,2, 3,……..n
Xo = nilai terburuk pada criteria X
X1 = nilai terbaik pada criteria X
V(A) = fungsi nilai dari alternatif A
Vi(Xi) = Fungsi nilai dari alternatif i pada criteria ke
- i
Penentuan unit penangkapan ikan pelagis menggunakan
metode skoring, sebagai berikut :
Analisis aspek biologi : Selektivitas (X1), rata-rata
ukuran ikan cakalang yang tertangkap (X2), lama waktu musim penangkapan ikan
cakalang (X3), persentase ukuran laak tangkap (X4), dan penerapan teknologi
ramah lingkungan (X5) yang diperoleh dari hasil wawancara dengan nelayan.
Analisis aspek teknis (perahu, alat penangkapan ikan pelagis
dan hasil tangkapan). Sedangkan penilaian kriteria teknis dari unit penangkapan
pelagis yaitu mencakup produksi per tahun (X1), produksi per trip (X2), dan
produksi per tenaga kerja (X3) dari hasil wawancara.
Analisis aspek sosial yakni berkaitan dengan tenaga
kerja yang diserap setiap unit penangkapan pelagis antara lain, jumlah tenaga
kerja per unit alat tangkap (X1), tingkat penguasaan teknologi (X2), dan respon
penerimaan nelayan setempat (X3).
Analisis aspek ekonomi dapat dijabarkan menjadi aspek
ekonomi kriteria efisiensi usaha. Aspek ekonomi kriteria efisiensi usaha
meliputi: penerimaan kotor per tahun (X1), penerimaan kotor per trip (X2),
penerimaan kotor per tenaga kerja (X3), dan analisis kelayakan usaha adalah :
Keuntungan (X4), dan Revenue Cost Ratio (R/C) (X5).
HASIL PENELITIAN
Analisis Aspek
Biologi
Penilaian keunggulan unit penangkapan Ikan Cakalang
berdasarkan Tabel 1, dapat dilihat bahwa aspek biologi menempatkan Hand line
pada urutan prioritas pertama untuk keseluruhan kriteria komposisi target
spesies (X1), ukuran hasil tangkapan utama (X2), lama waktu musim penangkapan
Ikan Cakalang (X3), persentase ukuran layak tangkap (X4), dan penerapkan
teknologi ramah lingkungan (X5). Setelah distandarisasi dengan fungsi nilai didapat
bahwa Hand line lebih baik dari Pole and line dan Payang.
Analisis Aspek
Teknis
Berdasarkan Tabel 2, menunjukkan bahwa penilaian
keunggulan untuk aspek teknis, pada unit penangkapan Ikan Cakalang menempatkan
pole and line pada prioritas pertama untuk kriteria seluruhnya yaitu produksi
per tahun (X1), produksi per trip (X2) dan produksi per tenaga kerja (X3) lebih
baik dari hand line dan payang.
Analisis Aspek
Sosial
Pada Tabel 3, dapat dilihat bahwa setelah standarisasi
fungsi nlai aspek sosial menunjukkan hand line adalah alat tangkap unggulan
pada urutan prioritas pertama.
Analisis Aspek
Ekonomi
Bersdasarkan Tabel 4, dapat dilihat bahwa keunggulan
ekonomi setelah standarisasi menempatkan pole and line sebagai urutan prioritas
pertama.
Analisis aspek biologi, teknis, sosial, dan ekonomi
Berdasarkan Tabel 5, dilaihat dari masing-masing aspek,
pole and line lebih unggul pada dua aspek yaitu aspek teknis dan aspek ekonomi.
Sedangkan pada aspek biologi dan sosial menempatkan hand line sebagai prioritas
pertama. Untuk keseluruhan aspek pengelolaan menempatkan alat tangkap pole and
line yang paling unggul dan prioritas pertama. Disamping itu untuk kelayakan
usaha diperoleh bahwa usaha perikanan pole and line dan hand line lebih layak
untuk dikembangkan karena menguntungkan pelaku usaha, sedangkan usaha perikanan
payang tidak layak untuk dikembangkan karena mengalami kerugian tiap tahunnya.
PEMBAHASAN
Penelitian ini memperlihatkan bahwa unit penangkapan pole
and line atau huhate merupakan unit penangkapan yang layak untuk dikembangkan
karena berbasis sumbedaya berdasarkan empat aspek pengelolaan. Hal ini terkait
dengan musim operasi penangkapan yang lebih lama dari hand line dan payang.
Adanya ukuran kapal yang lebih besar berkisar 28 – 35 GT dan mesin penggerak
berkisar 240 – 450 HP, maka mampu melakukan operasi peangkapan yang lebih jauh
(lepas pantai) meski cuaca buruk untuk mencari gerombolan ikan cakalang
(Mallawa dkk, 2009). Dibandingkan dengan Hand line dan payang hanya sekitar 3 –
4 mil dari pantai, dan ketika cuaca buruk maka tidak melakukan operasi
penangkapan.
Berdasarkan ukuran hasil tangkapan ikan cakalang, maka
hand line baik dari pole and line dan payang. Hal ini karena mata pancing yang
digunakan lebih besar yaitu nomor 6 dibanding pole and line berkisar 2,5 – 4,0
sehingga ikan yang tertangkap juga lebih besar ukuran bukaan mulutnya.
Disamping itu penangkapan dilakukan hingga kedalaman 500 meter kebawah
permukaan laut dibandingkan dengan dua alat tangkap yang lain dekat dengan permukaan
laut (Sadhori, 1985)
Berdasarkan selektivitas menunjukkan bahwa alat tangkap
hand line merupakan alat tangkap unggulan, ini menunjukkan bahwa Hand line yang
dioperasikan di perairan Teluk Bone Kabupaten Luwu menangkap ikan cakalang
dengan ukuran yang relatif sama.
Penggunaan nomor mata pancing yang seragam memungkinkan
jenis ikan yang tertangkap juga hanya satu jenis dengan ukuran yang relatif
seragam, sebagaimana diungkapkan oleh Mallawa, (2013) bahwa Hand line merupakan
unit penangkapan yang memiliki nilai aspek biologi/selektivitas yang tinggi.
Selain itu Baskoro, (1999), bahwa unit penangkapan pancing memiliki nilai aspek
biologi yang tinggi. Disamping itu, terkait dengan alat tangkap jenis pancing,
Rukka, (2007), menyatakan bahwa alat tangkap pancing tonda merupakan alat tangkap
unggulan berdasarkan standarisasi fungsi biologi.
Payang yang dioperasikan sekitar perairan pantai, yaitu
sekitar 2-3 mil dari pantai dengan kedalaman sekitar 40-50 m, dimana pada
bagian kantong dengan ukuran bukaan mata jaring 1,5-5 cm, sehingga ikan yang
memiliki lingkar tubuh kurang dari 1,5-5 cm akan lolos.
Memungkinkan ikan-ikan kecil dan belum memijah atau
belum layak tangkap dengan ragam spesies ikan juga ikut tertangkap di kantong
payang atau komposisi jenis ikan lebih banyak dari hand line dan pole and line.
Pole and line memiliki mata pancing dengan nomor berkisar 2,5-4,0, dengan ikan target
yaitu cakalang sehingga memungkinkan ikan cakalang yang tertangkap memiliki ukuran
yang beragam ukuran relatif lebih kecil dari hand line, sehingga sebagian kecil
masih ditemukan ikan yang belum matang gonad atau tidak layak tangkap.
Kriteria alat tangkap ramah lingkungan didasarkan pada
Monintja, (2000), yaitu selektivitas tinggi, artinya teknologi yang digunakan
mampu meminimalkan hasil tangkapan yang bukan merupakan target. Tidak
destruktif terhadap habitat yang akan membahayakan kelestarian produksi ikan.
Tidak membahayakan nelayan yang mnegoperasikan teknologi tersebut. Menghasilkan
ikan yang bermutu tinggi dan tidak membahayakan kesehatan konsumen. Berdampak
minimum terhadap keanekaragaman sumberdaya hayati. Diterima secara sosial.
Sedangkan Menurut Arimoto, (1999), teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan
adalah suatu alat tangkap yang tidak memberikan dampak lingkungan, tidak merusak
dasar perairan (benthic disturbance), kemungkinan hilangnya alat tangkap kecil,
serta kontribusinya terhadap polusi rendah.
Dalam aspek teknis penelitian ini memperlihatkan bahwa
pole and line merupakan alat tangkap prioritas utama. Hal ini terjadi karena
menurut hasil wawancara dengan nelayan setempat bahwa penangkapan pole and line
dilakukan hampir sepanjang tahun yaitu 9 bulan lebih (musim puncak dan musim
biasa) meski ada beberapa waktu-waktu tertentu tidak melakukan operasi karena
adanya ombak besar. Disamping itu penangkapan juga di lakukan pada daerah
fishing ground yang jauh dari pantai hingga ke kawasan bagian tengah teluk bone,
baik pada rumpn maupun non rumpon. Pada musim puncak kadang di peroleh hingga 1
ton ikan cakalang per hari dengan fishing ground sekitar perairan pantai
(Mallawa, 2012).
Untuk aspek sosial dapat dilihat bahwa setelah standarisasi
fungsi nlai aspek sosial menunjukkan hand line adalah alat tangkap unggulan
pada urutan prioritas pertama. Urutan prioritas pertama pada aspek sosial
menunjukkan bahwa hand line termasuk alat tangkap yang memiliki investasi dan
biaya operasional yang terjangkau dan diterima oleh kebanyakan masyarakt
nelayan setempat, sesuai dengan kondisi finansial nelayan pada umumnya. Hal ini
dikarenakan sebagian besar masyarkat nelayan yang menangkap ikan cakalang
memiliki kemampuan ekonomi yang relatif rendah dibandingkan status sosial
lainnya, sehingga dalam hal proses produksi nelayan akan menggunakan alat
produksi dalam hal ini alat tangkap yang investasinya relatif lebih rendah
dibandingkan alat tangkap lainnya.
Keunggulan ekonomi adalah nilai produksi cakalang yang
dihasilkan dikurangi dengan keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk
mendapatkan produksi cakalang. Sebagaimana diketahui bahwa kemampuan menangkap
pole and line lebih besar dibandingkan kedua alat tangkap lainnya, sehingga
produksi cakalang pada pole and line juga akan lebih besar. Produksi hasil
tangkapan ini berkaitan erat dengan nilai jual dari cakalang, yaitu semakin
besar produksi maka nilai jual yang dihasilkan juga akan lebih besar.
Demikian juga dengan pendapatan ABK, karena keuntungan
yang semakin besar akan menyebabkan bagi hasil juga akan meningkat akibatnya
pendapatan ABK pole and line akan lebih besar dibandingkan alat tangkap
lainnya.
Untuk analisis kelayakan usaha, diperoleh nilai Revenue
Cost Ratio untuk pole and line tertinggi yaitu 1,52, dimana R/C > 1 artinya
nilai total penerimaan lebih besar dari nilai total pengeluaran sehingga alat
tangkap ini layak untuk di lanjutkan dan dikembangkan karena sangat
menguntungkan para pelaku usaha perikanan.
Dilihat dari masing-masing aspek, pole and line lebih
unggul pada dua aspek yaitu aspek teknis dan aspek ekonomi. Hal ini terjadi
karena pole and line merupakan alat tangkap yang lebih produktif dalam hal
kuantitas jumlah hasil tangkapan utamanya ikan cakalang sebagai ikan target
sehingga nilai penerimaannya juga sangat besar, sehingga dinilai lebih menguntungkan
dibanding kedua alat tangkap lainnya. Sedangkan pada aspek biologi dan sosial
menempatkan hand line sebagai prioritas pertama, karena tingkat selektivitas
dan ramah lingkungan yang tinggi pada alat tangkap tersebut dan nilai
investasinya juga realtif rendah atau terjangkau oleh kebanyakan masyarkat
nelayan setempat, sehingga lebih diminati untuk dijadikan usaha. Terkait dengan
ramah lingkungan sebuah alat tangkap, menurut Sultan, (2004), jenis alat
tangkap yang masuk kategori ramah lingkungan adalah jaring insang hanyut,
pancing tonda, pancing tangan, pancing cumi, rawai dasar, bubu labu, rawai
cucut dan purse seine.
Hasil dari total standarisasi berdasarkan aspek biologi,
teknis, sosial, dan ekonomi unit penangkapan Ikan cakalang di Kabupaten Luwu
maka yang menjadi prioritas pengembangan adalah alat tangkap Pole and line pada
urutan pertama, Hand line pada urutan kedua, dan Payang pada urutan ketiga. Hal
senada juga di ungkapkan oleh Syamsuddin dkk, (2008), bahwa alat tangkap pole
and line dan pancing tonda yang dioperasikan di Kota
Kupang, Laut Flores dan Laut Sawu merupakan alat tangkap
unggulan berdasarkan standarisasi fungis kriteria ramah lingkungan karena
menangkap ikan cakalang dengan ukuran yang relatif sama, dengan menggunakan
mata pancing yang sama.
KESIMPULAN
DAN SARAN
Berdasarkan atas tujuan dan hasil penelitian yang telah
dicapai dalam penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpula bahwa hasil analisis
kinerja pada ketiga alat tangkap berdasarkan aspek biologi, teknis, sosial, dan
ekonomi unit penangkapan Ikan cakalang di maka yang menjadi prioritas
pengembangan adalah alat tangkap Pole and line pada urutan pertama, kemudian hand
line, dan terakhir payang. Adapun saran sebagai bahan masukan untuk kemaslahatan
pengelolaan perikanan tangkap secara umum dan perikanan cakalang secara khusus
di Teluk bone adalah perlu dilakukan penelitian untuk teknologi penangkapan
cakalang lainnya yang beroperasi di Teluk Bone seperti pancing tonda, purse
seine, rawai tuna, jaring insang hanyut, dan alat tankap lainnya sebagai bahan
perbandingan dalam hal kinerja, kelayakn usaha dan dampak teknologinya terhadap
populasi ikan cakalang.
DAFTAR
PUSTAKA
Arimoto T. (1999). Research and Education System of Fishing
Technology in Japan. The 3 rd JSPS International Seminar. Suistainable
Fishing Technology in Asiatoword the 21st Century. P23-37.
Abdullah A. (2011). Analisis aspek
teknis unit penangkapan pole and line di perairan Teluk Bone Kabupaten Luwu (Skripsi). Makassar: Fakultas Ilmu
Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin.
Baskoro M.S. (1999). Capture Process of The Floated Bamboo Platform Liftnet With Light
Attraction (Bagan). Doctoral Course of Marine Science and Technology. Tokyo
University of Fisheries. Tokyo.
Dinas Kelautan dan Perikanan. (2012).
Data Statistik Perikanan Tangkap. Sulawesi selatan.
Dinas Kelautan dan Perikanan. (2012).
Data Statistik Perikanan Tangkap.
Kabupaten Luwu.
Jamal M., Sondita M.F.A., Haluan J.
& Wiryawan B. (2011). Pemanfaatan
data biologi ikan cakalang (katsuwonus pelamis) dalam rangka pengelolaan
perikanan yang bertanggung jawab di perairan Teluk Bone. Jurnal Natur
Indonesia. 14 : 207 – 113.
Katalog Badan Pusat Statistik.
(2012). Kabupaten Luwu dalam Angka.
Badan Pusat Statistik. Kabupaten Luwu.
Mallawa A. (2013). Analisis tekanan teknologi penangkapan ikan
terhadap populasi ikan cakalang (katsuwonus pelamis) di perairan Teluk Bone,
Sulawesi selatan. Lembaga Penelitian
Universitas Hasanuddin. Makassar.
Mallawa A. (2012). Aspek perikanan dan prediksi tangkapan per
unit upaya ikan cakalang (katsuwonus pelamis) di perairan Luwu Teluk Bone
Sulawesi selatan. Laporan Akhir
Hibah Penelitian Strategis Nasional. Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin. Makassar.
Mallawa A. & Palo M. (2009). Pemetaan daerah potensial penangkapan ikan
tuna (Thunnus sp) dan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan Teluk Bone.
Laporan Akhir Hibah Penelitian Strategis Nasional. Lembaga Penelitian
Universitas Hasanuddin. Makassar, 51 p.
Mangkusubroto K. & Trisnadi C.L.
(1985). Analisis keputusan pendekatan
sistem dan management usaha dan proyek. Ganesa Exacta. Bandung.
Monintja D.R. (2000). Prosiding Pelatihan untuk Pelatih
Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan.
Institut Pertanian Bogor. Bogor, 156
hal.
Rukka A. H. (2006). Pengembangan
Perikanan Tangkap Ikan Cakalang di Perairan Kabupaten Selayar (Tesis). Program Pascasarjana IPB. Bogor.
Sadhori N. (1985). Tehnik Penangkapan Ikan. Penerbit
Angkasa. Bandung.
Sultan M. (2004). Pengembangan
Perikanan Tangkap di Kawasan Taman Nasional Laut Taka Bonerate (Disertasi). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Syamsuddin, Mallawa A., Najamuddin
& Sudirman. (2008). Analisis
Pengembangan Perikanan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis, Linnaeus)
berkelanjutan) di Perairan Kupang Nusa Tenggara Timur. J. Elektronik PPS
UnHas. Diakses 20 April 2013.
Available from: http://pasca .unhas.ac.id.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar